Thursday, August 30, 2012

Thaharah

A.          PENDAHULUAN
       Thaharah adalah miftah (pintu) seseorang untuk melakukan ibadah shalat. Agama islam sangat mengutamakan bersuci (thaharah). Karena diterimanya atau tidak diterimanya ibadah seseorang tergantung bersih atau tidaknya seseorang baik dari hadats kecil maupun hadats besar. Bersuci artinya membersihkan badan, pakaian, dan tempat shalat dari segala kotoran dan najis.
       Apabila seorang murid hendak pergi ke sekolah, tentu ia terlebih dahulu membersihkan pakaian dan badannya, membersihkan gigi dan mulutnya, kaki dan tangannya serta rambut dan jilbabnya. Apabila semua ini dilakukan, ia akan disayangi dan disenangi guru dan teman-temannya.
        Apalagi bila kita ingin menghadap Allah SWT yang mengetahui lahir dan batin hamba-Nya, mulai dari gerak langkah yang dilakukannya sampai niat di dalam hatinya. Tidak ada kejahatan atau kebaikan yang tersembunyi bagi-Nya. Tentunya pakaian dan badan kita harus dalam keadaan bersih apabila kita hendak menghadap Allah. Terlebih dahulu kita harus mensucikan badan, mulut, kaki, hidung, tangan dan mata.
       Walaupun menurut pandangan mata kita hanya membersihkan jasmani kita saja namun dibalik itu semua ada isyarat dan maksud tertentu dari perbuatan mensucikan badan kita tadi. Secara lahiriah tangan dan wajah yang kita bersihkan namun secara batiniah hatilah yang kita sucikan, air yang digunakan untuk membasuh tubuh kita diibaratkan dengan air tobat. Maksudnya kita kembali mensucikan diri untuk  menghadap Allah, dengan menyesali perbuatan-perbuatan yang telah lalu, serta berjanji kepada diri sendiri untuk tidak mengerjakan perbuatan yang salah lagi. Inilah maksud sebenarnya dari membasuh bagian anggota tubuh kita dengan air wudhu.
       Terkait dengan persolan bersuci, maka di dalam makalah yang berjudul “THAHARAH” ini kami akan membahas seputar pengertian thaharah, dasar hukum diwajibkannya thaharah dan air apa saja yang dapat digunakan seseorang untuk bersuci.


B.          PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM THAHARAH
       Thaharah adalah merupakan salah satu syarat dalam melakukan suatu amal ibadah, terutama dalam shalat, haji, dan sebagainya baik itu bersuci dari hadats kecil maupun bersuci dari hadats besar, karena setiap amal ibadah yang kurang salah satu syaratnya, maka amal ibadah itu kurang sempurna sahnya.
       Secara etimologi thaharah berarti bersih dan jauh dari kotoran-kotoran, baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata seperti aib dan dosa. Sedangkan pengertian thaharah secara terminologi syara’ berarti mensucikan diri, pakaian dan tempat dari hadats dan najis dengan menggunakan air yang dapat mensucikan serta dengan aturan-aturan yang sesuai dengan ajaran agama Islam.[1] Thaharah hukumnya wajib bagi setiap mukmin, Allah berfirman :
Artinya : “Hai orang yang berkemul (berselimut). Bangunlah, lalu berilah peringatan!. Dan Tuhanmu agungkanlah!. Dan pakaianmu bersihkanlah.”(Q.S. Al-Muddatstir: 1-4)
Dan dalam surah Al-Baqarah ayat 222
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
        Begitulah pentingnya thaharah (bersuci) bahkan ada hadits yang menyebutkan bahwasannya kebersihan (suci) adalah sebagian daripada iman.

C.          MACAM-MACAM BERSUCI
       Sebelum mengerjakan ibadah kita diperintahkan untuk thaharah, bagian-bagian dari bersuci (thaharah) diantaranya yaitu:
1.      Istinja’ ialah membersihkan kubul dan dubur sesudah buang air kecil atau air besar dengan menggunakan air yang yang suci. Beristinja’ hukumnya wajib.
2.      Wudhu’ ialah membersihkan sebagian anggota badan tertentu untuk menghilangkan hadats kecil.
3.      Tayamum adalah bersuci sebagai pengganti wudhu dan mandi dengan mengusap muka dan kedua belah tangan dengan debu yang suci.
4.      Mandi adalah membasuh seluruh tubuh dengan air yang bersih mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Seseorang wajib mandi untuk menghilangkan hadats besar seperti (haid, nifas, bersentubuh, dan lain sebagainya)

D.          ALAT-ALAT UNTUK BERSUCI
       Media atau alat untuk bersuci banyak sekali. Salah satunya adalah air dan debu. Media untuk bersuci yang akan dibahas kali ini adalah air. Air yang boleh digunakan untuk bersuci ialah air yang turun dari langit atau yang keluar dari bumi menurut sifat asalnya, seperti hitam, merah, putih, panas, dingin, dan lain-lain. Air yang turun dari langit dinamakan air hujan dan yang keluar dari bumi disebut mata air. Sedangkan air susu dan air kelapa tidak termasuk air yang dapat digunakan untuk bersuci.
       Dari segi hukumnya air terbagi menjadi empat macam yaitu:
1.      Air mutlak
       Air mutlak adalah air yang suci lagi mensucikan dan tidak makruh apabila dipakai untuk bersuci. Adapun yang termasuk kategori air mutlak antara lain sebagai berikut.
a.       Air hujan, salju, dan air embun
       Ayat yang mempertegas bahwa air  hujan, salju, dan embun adalah air yang suci adalah firman Allah sebagai berikut:
Artinya : “..., dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih” (QS.Al-Furqan: 48)
Dan dalam surah lain Allah berfirman,
Artinya : “..., dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu...”(Al-Anfal: 11)
b.      Air Laut
       Merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra., ia berkata: seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, ia berkata “Wahai Rasulullah kami sedang naik kapal di laut, sementara kami membawa sedikit perbekalan dan air, dan jika kami berwudhu dengannya kami akan kehausan. Bolehkah kami berwudhu dengan air laut?” Rasulullah saw. menjawab,  “Air laut itu suci dan mensucikan, bangkainyapun halal”.
c.       Air Zamzam
       Merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Ali ra.,
Bahwasannya Rasulullah berdoa dengan membawa timba besar berisi air zamzam, kemudian beliau meminumnya dan berwudhu dengannya.”
d.      Air yang Berubah-ubah (Mutaghayyir)
       Air yang berubah-ubah karena terlalu lama mengendap atau dikarenakan lokasinya, atau karena tercampur sesuatu yang umumnya tidak dapat dipisahkan darinya, seperti enceng gondok dan daun pohon. Menurut kesepakatan ulama, air tersebut tetap masuk dalam kategori air mutlak.
e.       Air yang dipanaskan diterik matahari
       Air musyammas termasuk air suci yang dapat mensucikan tetapi hukumnya makruh apabila digunakan. Bejana (tempat menyimpan air) yang dimaksud disini adalah yang terbuat dari logam dan bukan emas.[2]
2.      Air yang suci tetapi tidak mensucikan (Air yang berubah karena benda suci)
       Air yang dimaksud ialah air yang salah satu sifatnya sudah berubah, misalnya bau, warna atau rasanya dengan perubahan yang banyak karena tercampur benda suci adalah air yang tercampur benda yang suci, misalnya tercampur sabun, minyak za’faran, dan air bunga mawar.  
       Status air tersebut suci lagi mensucikan, selama masih terjaga kemutlakannya. Namun apabila air tersebut sudah banyak sekali tercampur dengan benda suci sehingga mengalahkan banyaknya air  maka status air tersebut menurut pandangan Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad adalah tetap suci namun tidak lagi mensucikan.
       Sedangkan menrut Imam Hanafi, air yang tercampur dengan benda yang suci tetap suci dan mensucikan selama masih tetap di atas tempat tampungan dan alirannya, meskipun telah berubah salah satu sifatnya. Namun apabila air tersebut sifat-sifatnya semua mengalami perubahan dan air tersebut keluar dari tempat tampungan dan tempat alirannya maka air itu sudah tidak sah lagi diginakan untuk bersuci menurut kesepakatan seluruh ulama. Begitupun air yang mengalami perubahan pada namanya karena direbus atau dimasak bersama-sama benda yang suci (misalnya air teh, sirup, kopi), maka air tersebut sudah tidak dapat dikatakan air mutlak.
3.      Air yang suci tetapi tidak mensucikan
       Air musta’mal adalah air yang menetes atau terjatuh dari anggota tubuh orang yang berwudhu atau mandi. Status hukum air tersebut suci seperti air mutlak. Status kesucian air musta’mal ditetapkan berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: “Rasulullah saw. datang menjengukkuu ketika aku sakit dan tidak sadarkan diri, kemudian beliau wudhu lalu meneteskan bekas air wudhunya kepadaku, kemudian aku sadar.”
       Air musta’mal tetap suci lagi mensucikan. Karena sejalan dengan asal-usul air tersebut dan adanya dalil yang menunjukkan bahwa air itu suci dan mensucikan. Ini adalah pendapat segolongan ulama salaf dan khalaf.[3]
       Sebagian ulama melarang penggunaan air musta’mal untuk bersuci (ini pendapat Imam Syafi’i dan Imam Hanafi), sedangkan Imam Malik dan pengikutnya berpendapat bahwa menggunakan air musta’mal untuk thaharah adalah makruh, namun apabila tidak air bersih di tempat tersebut dan yang ada hanya air musta’mal maka diperbolehkan bersuci dengannya.
4.      Air Mutanajis (Air yang bertemu dengan najis)
       Apabila ada najis atau kotoran masuk ke dalam air mutlak dan bercampur menjadi satu, namun jumlah air tersebut sedikit (kurang dari dua kullah)  dan berubahlah salah satu sifat air tersebut (warna, rasa, bau)  maka air tersebut dihukumi air najis dan tidak sah lagi dipakai untuk berwudhu.
       Akan tetapi apabila air tersebut kemasukan benda najis namun jumlah air yang ada lebih banyak (sekurang-kurangnya dua kullah atau lebih) dan najis yang jatuh tersebut tidak mengubah salah satu sifat air maka air tersebut tetap disebut air mutlak. Akan tetapi, kalau najis yang jatuh telah mengubah salah satu sifat air maka air tersebut dianggap sebagai air najis.[4]
       Dua kullah sama dengan 216 liter, jika berbentuk bak, maka panjangnya 60 cm dan kedalaman/tingginya 60 cm.
       Berikut ini tambahan beberapa air yang dapat digunakan untuk bersuci maupun air yang tidak dapat digunakan untuk bersuci.
1.      Air sisa minum (Tsaur)
       Para ulama sepakat bahwa air sisa minum kaum muslimin dan binatang suci. Semua air bekas minuman binatang adalah suci kecuali air bekas minum babi, anjing, binatang buas. Menurut pendapat Ibnu Qasim sisa air yang diminum seorang musyrikin adalah najis dan apabila ia peminum khamar air itu menjadi makruh. Sedangkan air bekas dijilat anjing hukumnya adalah najis. Dasarnya adalah hadits yang berbunyi,  “Apabila anjing menjilat bejana salah seorang diantara kamu, maka tuangkanlah air itu, dan hendaklah ia membasuh bejana itu sebanyak tujuh kali. Dan dalam salah satu sanad hadits disebutkan, yang pertama dengan tanah. Dalam riwayat lain disebutkan, gosoklah pada yang kedelapan kalinya dengan tanah”.(HR. Bukhari dan Muslim)
       Sedangkan air bekas sisa minum kucing dianggap tidak najis karena kucing adalah binatang yang jinak.[5] Dasarnya adalah hadits yang berbunyi “Bahwa Kabasyah menuangkan air wudhunya, lalu ada kucing yang datang hendak meneguk air. Lalu, Qatadah memiringkan bejana itu (menyilahkan) kepada kucing sampai kucing itu selesai minum. Lalu, Qatadah mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Kucing itu tidak najis, karena kucing termasuk hewan yang mengelilingi kamu’.”(HR.Imam Muslim)

2.      Air bekas thaharah
Terdapat lima perbedaan ulama dalam hal status air bekas thaharah:[6]
a.       Sebagian ulama berpendapat bahwa air bekas thaharah adalah suci (pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hanafi).
b.      Sebagian ulama lain berpendapat bahwa kaum lelaki tidak diperbolehkan bersuci menggunakan bekas bersucinya wanita, sedangkan wanita diperbolehkan menggunakan bekas bersucinya lelaki.
c.       Sebagian lain lagi berpendapat bahwa lelaki diperbolehkan bersuci menggunakan bekas air bersuci wanita, selama wanita itu tidak sedang dalam keadaan hadats besar atau haid.
d.      Sebagian ulama yang berpendapat bahwa laki-laki atau wanita tidak boleh bersuci menggunakan bekas air salah satunya, kecuali jika diantara mereka memulai  bersuci bersamaan.
e.       Sebagian ulama yang berpendirian bahwa lelaki atau wanita, sama sekali tidak diperbolehkan bersuci dengan menggunakan bekas air salah satunya walaupun memulainya besamaan.
E.           KESIMPULAN
1.      Thaharah ialah bersuci dari hadats besar maupun hadats kecil dengan menggunakan air maupun debu yang suci sesuai dengan syari’at agama Islam. Thaharah hukumnya wajib bagi setiap muslim karena thaharah merupakan syarat diterimanya amal ibadah seseorang.
2.      Macam-macam thaharah diantaranya yaitu mandi, wudhu, tayamum, dan istinja’.
3.      Media yang dapat digunakan untuk bersuci ialah air dan debu. Air yang dapat digunakan untuk bersuci diantaranya yaitu air hujan, air laut, salju, embun, air zam-zam serta air yang suci dari najis. Dari segi hukumnya air terbagi menjadi empat macam yaitu air mutlak, air yang suci tetapi tidak mensucikan, air yang suci tetapi tidak mensucikan, dan air mutanajis. Tentang status kesucian masing-masing air tersebut terjadi perbedaan dikalangan para ulama dan imam empat madzhab. Jadi semuanya tergantung dari kita mau mengikuti pendapat mana yang sesuai dengan situasi dan kondisi serta yang tidak bertentangan dengan hati kita.



DAFTAR PUSTAKA


Mas’ud, Ibnu dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i (Buku 1 –Ibadah-),  Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Muhammad Azzam, Abdul Aziz dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Al-Wasithu fi Fiqh Ibadah, terj. Kamran As’at Irsyady, Ahsan Taqwim, dan Al-Hakam Faishol, Fidih Ibadah, Jakarta: Amzah, 2009.
Rusyd, Ibnu,  Bidayatu’L Mujtahid, terj. M.A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah,  Semarang: Asy Syifa’, 1990.
Mz, Labib, Hadits Pilihan Shahih Bukhari, Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2005.
http://www.contohmakalah.co.cc/2010/10/makalah-tentang-thaharah.html


       [1] Terj. Labib Mz, Hadits Pilihan Shahih Bukhari, (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2005), hlm.71.
       [2] http://www.contohmakalah.co.cc/2010/10/makalah-tentang-thaharah.html tanggal 23 Mei 2011
       [3] Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Al-Wasithu fi Fiqh Ibadah, terj. Kamran As’at Irsyady, Ahsan Taqwim, dan Al-Hakam Faishol, Fidih Ibadah, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 15.
       [4] Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqih Madzhab Syafi’i (Buku 1 –Ibadah-),  (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 35.
       [5] Ibnu Rusyd, Bidayatu’L Mujtahid, terj. M.A. Abdurrahman dan A. Haris Abdullah, (Semarang: Asy Syifa’, 1990), hlm. 55.
       [6] Ibnu Rusyd, Bidayatu’L Mujtahid..., hlm. 57-58.

0 comments

Post a Comment