Mahasiswa KI'2010 Part 1

(A. Syaddad, Andi Munadi, Ari Maulana, Bakti Hamdani, Bayu Agung S, Darul Zulfi) (Desy Anggraini, Eka Febriyanti, Emelia Ikhsana, Fatkurohmanudin, Fitriani, Hepni Efendi)

Mahasiswa KI'2010 Part 2

(Imam Adi M, Intan Safitri, Joko Suseno, Lisda Nur A, Masnan, Muammar) (Mudfirudin, M Hasan Basri, M Akbar, M Fadliansyah, M Rasyid Ridho, Nanda Fajrul H)

Mahasiswa KI'2010 Part 3

(Normila, Nur Sodik, Nurul Qomariah, Puji Wulandari, Rab'ul Habibi, Ridho M.P) (Salasiah, Sitti Fatimah, Siwid Sutian, Taryuni, Titis Ratna Sari, Verdy Evansyah)

Mahasiswa KI'2010 Part 4

(Wahyu Fajriyadi, Zuhrotul Husniah, Akhsanul Khair, Eka Patmawati, Siti Hadijah, Siti Kholifah) (Najmatul Hilal, Aan Yusuf K, Indra Lukman, Ibrahim, A. Durori)

Wednesday, May 22, 2013

Transfusi darah menurut Islam


 
 TRANSFUSI DARAH MENURUT ISLAM
A.           Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dalam ilmu kedokteran didorong oleh keinginan manusia untuk mempertahankan eksistensi dan pemenuhan akan kebutuhannya. Ilmu dan teknologi kedokteran menurut pandangan Islam mestinya dikembangkan dalam rangka mengaktualisasikan potensi diri yang bersifat insan, kekhalifahan, kerisalahan dan pengabdian kepada Allah dan kepada sesama manusia.
Kini, produk ilmu teknologi dan kedokteran seperti transfusi darah menimbulkan permasalahan jika ditinjau dari hukum Islam. Memvoniskan hukum yang bersifat hitam putih (boleh-tidak-boleh) dalam menanggulangi permasalahan tersebut dapat menghambat perkembangan ilmu dan ternologi kedokteran itu sendiri.
Di samping itu, secara sosologis masyarakat lazim melakukan donor darah untuk kepentingan pelaksanaan transfusi, baik secara sukarela maupun dengan menjual kepada yang membutuhkannya. Keadaan itu perlu ditentukan status hukumnya atas dasar kajian ilmiah.
Berdasarkan Pendahuluan diatas maka kami pandang perlu pendalaman dan pemahaman lagi dalam menanggapi kasus masyarakat masa kini yang tidak ditemukan di dalam al-Qur’an dan Hadits. Maka disuruhlah manusia untuk mempergunakan akalnya agar bisa memikirkan dan memecahkan problema yang dihadapi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadits. Oleh karenanya maka pada kesempatan kali ini kami kan membahas makalah yang berjudul “Hukum Transfusi Darah Menurut Pandangan Islam”. Di dalam makalah ini kami akan bahas pengertian transfusi darah, unsur darah dan fungsinya, hukum melakukan transfusi darah dan hukum menjual darah untuk kepentingan transfusi.
B.            Pengertian Transfusi Darah
Kata transfusi darah berasal dari bahasa Inggris “Blood Transfution” yang artinya memasukkan darah orang lain ke dalam pembuluh darah orang yang akan ditolong. Hal ini dilakukan untuk menyelamatkan jiwa seseorang karena kehabisan darah. Menurut Asy-Syekh Husnain Muhammad Makhluuf merumuskan definisinya sebagai berikut:[1]
نَقْلُ الدَّمِ لِلْعِلاَجِ هُوَ اْلإِ نْتِفَاعُ  بِدَمِ اْلإِنْسَانِ بِنَقْلِهِ  مِنَ الصَّحِيْحِ إِلَى الْمَرِيْصِ لاِنْقَاذِ حَيَاتِهِ
Yang artinya “Transfusi darah adalah memanfaatkan darah manusia, dengan cara memindahkannya dari (tubuh) orang yang sehat kepada orang yang membutuhkannya, untuk mempertahankan hidupnya.
Darah yang dibutuhkan untuk keperluan transfusi adakalanya secara langsung dari donor dan adakalanya melalui Palang Merah Indonesia (PMI) atau Bank Darah. Darah yang disimpan pada Bank darah sewaktu-waktu dapat digunakan untuk kepentingan orang yang memerlukan atas saran dan pertimbangan dokter ahli, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan antara golongan darah donor dan golongan darah penerimanya.
Oleh karena itu, darah donor dan penerimanya harus dites kecocokannya sebelum dilakukan transfusi. Adapun jenis-jenis darah yang dimiliki manusia yaitu golongan AB, A, B, dan O.
Golongan-golongan yang dipandang sebagai donor darah adalah sebagai berikut:
·         Golongan AB dapat memberi darah pada AB
·         Golongan A dapat memberi darah pada A dan AB
·         Golongan B dapat memberi darah pada B dan AB
·         Golongan O dapat memberi darah kesemua golongan darah
Adapun golongan darah dilihat dari segi resipien atau penerima adalah sebagai berikut:
·           Golongan AB dapat menerima dari semua golongan
·           Golongan A dapat menerima golongan A dan O
·           Golongan B dapat menerima golongan B dan O
·           Golongan O hanya dapat menerima golongan darah O
Meskipun demikian, sebaiknya transfusi dilakukan dengan golongan darah yang sama, dan hanya dalam keadaan terpaksa dapat diberikan darah dari golongan yang lain.

C.           Unsur-unsur Darah dan Fungsinya
Darah adalah jaringan cair yang terdiri dari dua bagian, yaitu cairan yang disebut plasma dan sel darah. Darah secara keseluruhan kira-kira seperduabelas dari badan atau kira-kira lima liter. Sekitar 55 persennya adalah cairan atau plasma, sedangkan 45 persen sisanya adalah sel darah yang terdiri dari tiga jenis, yaitu sel darah merah, sel darah putih, dan butir pembeku (trambosit).
Dengan demikian darah manusia mempunyai empat unsur yaitu plasma darah, sel darah merah, sel darah putih, dan butir pembeku atau trombosit. Plasma adalah cairan yang berwarna kuning dan mengandung  91,0 persen air, 8,5 persen protein, 0,9 persen mineral, dan 0,1 persen sejumlah bahan organik seperti lemak, urea, asam urat, kolesterol dan asam amino. Plasma darah berfungsi sebagai perantara untuk menyalurkan makanan, lemak, dan asam amino ke jaringan tubuh. Plasma merupakan perantara untuk mengangkut bahan buangan seperti urea, asam urat dan sebagai karbon dioksida. Selain itu plasma juga berfungsi untuk menyegarkan cairan jaringan tubuh, karena melalui cairan ini semua sel tubuh menerima makanannya
Unsur kedua dari darah manusia dalah sel darah merah. Dalam setiap milimeter kubik darah terdapat 5 juta sel darah merah. Sel darah merah memerlukan protein, karena strukturnya terbentuk dari asam amino. Sel darah merah bekerja sebagai sistem transpor dari tubuh, mengantarkan semua bahan kimia, oksigen dan zat makanan yang diperlukan tubuh supaya fungsi normalnya dapat berjalan, dan menyingkirkan karbon dioksida dan hasil buangan lainnya serta mengatur napas keseluruh tubuh.
Unsur yang ketiga yaitu sel darah putih, bening dan tidak berwarna, bentuknya lebih besar dari sel darah merah namun jumlahnya sedikit yaitu setiap milimeter kubik darah terdapat 6.000 sampai 10.000 sel darah putih. Sel darah putih sangat penting bagi kelangsungan kesehatan tubuh. Sel darah putih berfungsi untuk membekukan daerah yang terkena infeksi atau cidera, menangkap organisme hidup dan menghancurkannya, menyingkirkan kotoran, menyediakan bahan pelindung yang melindungi tubuh dari serangan bakteri dan dengan cara ini jaringan yang sakit atau terluka dapat dibuang dan dipulihkan.
Unsur yang terakhir adalah butir pembeku atau trambosit. Bentuknya lebih kecil dari sel darah merah, kira-kira sepertiganya. Terdapat 300.000 trambosit dalam setiap milimeter kubik darah. Trambosit berfungsi untuk membekukan darah yang keluar dari anggota tubuh yang terluka, sehingga darah tersebut dapat bertahan. Seandainya tidak ada sel pembeku, darah yang sementara ke luar dari anggota tubuh  yang terluka tidak dapat bertahan, sehingga orang bisa mati karena kehabisan darah.
Demikian komposisi dan fungsi darah yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia. Oleh sebab itu orang-orang yang kekurangan darah karena terlalu banyak  mengeluarkan darah ketika kecelakaan, terkena benda tajam atau karena muntah darah dan lainnya, perlu diberikan tambahan darah dengan jalan transfusi darah.
D.           Hukum Transfusi Darah
Menurut hukum Islam pada dasarnya, darah yang dikeluarkan dari tubuh manusia termasuk najis mutawasithah. Maka darah tersebut hukumnya haram untuk dimakan dan dimanfaatkan, sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 3:
...
” Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah,..
Ayat diatas pada dasarnya melarang memakan maupun mempergunakan darah, baik secara langsung ataupun tidak. Akan tetapi apabila darah merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan jiwa seseorang yang kehabisan darah, maka mempergunakan darah dibolehkan dengan jalan transfusi. Bahkan melaksanakan transfusi darah dianjurkan demi kesehatan jiwa manusia,[2] sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 32 yang berbunyi sebagai berikut:
ô`tBur... $yd$uŠômr& !$uK¯Rr'x6sù $uŠômr& }¨$¨Y9$# $YèÏJy_ ...
 “... Dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya....”
Yang demikian itu sesuai pula dengan tujuan syariat Islam, yaitu bahwa sesungguhnya syariat Islam itu baik dan dasarnya ialah hikmah dan kemaslahatan bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Kemaslahatan yang terkandung dalam mempergunakan darah dalam transfusi darah adalah untuk menjaga keselamatan jiwa seseorang yang merupakan hajat manusia dalam keadaan darurat, karena tidak ada bahan lain yang dapat dipergunakan untuk menyelamatkan jiwanya. Maka, dalam hal ini najis seperti darah pun boleh dipergunakan untuk mempertahankan kehidupan. Misalnya seseorang yang menderita kekurangan darah karena kecelakaan, maka dalam hal ini diperbolehkan menerima darah dari orang lain. Hal tersebut sangat dibutuhkan (dihajatkan) untuk menolong seseorang yang keadaannya darurat, sebagaimana keterangan Qaidah Fiqhiyah yang berbunyi:
اَلْحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ عَامَّةً كَانَتْ أَوْ خَاصَّةً.
“Perkara hajat (kebutuhan) menempati posisi darurat (dalam menetapkan hukum Islam), baik yang bersifat umum maupun yang khusus.”
لاَحَرَامَ مَعَ الًضَّرُوْرَةِ وَلاَكَرَاهَةَ مَعَ الْحَاجَةِ.
 “Tidak ada yang haram bila berhadapan dengan keadaan darurat, dan tidak ada yang makruh bila berhadapan dengan hajat (kebutuhan).”
Maksud yang terkandung dalam kedua Qaidah tersebut menunjukkan bahwa Islam membolehkan hal-hal yang makruh dan yang haram bila berhadapan dengan hajat dan darurat. Dengan demikian transfusi darah untuk menyelamatkan seorang pasien dibolehkan karena hajat dan keadaan darurat.
Kebolehan mempergunakan darah dalam transfusi dapat dipakai sebagai alasan untuk mempergunakannya kepada yang lain, kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan kebolehannya. Hukum Islam melarang hal yang demikian, karena dalam hal ini darah hanya dibutuhkan untuk ditransfer kepada pasien yang membutuhkannya saja, sesuai dengan kaidah Fiqhiyah:
مَا أُبِيْحُ لِلضَّرُوْرَةِ بِقَدْرِ تَعَزُّرِهَا.
Sesuatu yang dibolehkan karena  darurat dibolehkan hanya sekedar menghilangkan kedharuratan itu.”
Memang dalam Islam membolehkan memakan darah binatang bila betul-betul dalam keadaan darurat, sebagaimana keterangan dalam ayat al-Qur’an yang berbunyi sebagai berikut:

 “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ayat diatas menunjukkan bahwa bangkai, darah, daging babi dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain nama Allah, adalah haram dimakan. Akan tetapi apabila dalam keadaan terpaksa dan tidak melampaui batas, maka boleh dimakan dan tidak berdosa bagi yang memakannya.
Sesungguhnya Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama. Maka penyimpangan terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh nash dalam keadaan terpaksa dapat dibenarkan, asal tidak melampaui batas. Keadaan keterpaksaan dalam darurat tersebut bersifat sementara, tidak permanen. Ini hanya berlaku selama dalam keadaan darurat.
E.            Hukum Menjual Darah Untuk Kepentingan Transfusi
Jual beli termasuk salah satu sistem ekonomi Islam. Dalam Islam, ekonomi lebih berorientasi kepada nilai-nilai logika, etika, dan persaudaraan, yang kehadirannya secara keseluruhan hanyalah untuk mengabdi kepada Allah. Lalu bagaimanakah hukum menjual darah untuk kepentingan transfusi?
Dalam hadits Jabir yang diriwayatkan dalam kedua kitab shahih, Bukhari dan Muslim. Jabir berkata yang artinya sebagai berikut:[3]
“Rasulullah saw. bersabda, sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan memperjualbelikan khamar, bangkai, babi dan berhala. (lalu Rasulullah ditanya para sahabat), bagaimana (orang Yahudi) yang memanfaatkan minyak bangkai; mereka pergunakan untuk memperbaiki kapal dan mereka gunakan untuk menyalakan lampu? Rasul menjawab, semoga Allah melaknat orang Yahudi, diharamkan minyak (lemak) bangkai bagi  mereka, mereka memperjualbelikannya dan memakan (hasil) harganya.”
Hadits Jabir ini menjelaskan tentang larangan menjual najis, termasuk didalamnya menjual darah, karena darah juga termasuk najis sebagaimana yang dijelaskan oleh surah Al-Maidah ayat 3. Menurut hukum asalnya menjual barang najis adalah haram. Namun yang disepakati oleh para ulama hanyalah khamar atau arak dan daging babi. Sedangkan memperjualbelikan barang najis yang bermanfaat bagi manusia, seperti memperjualbelikan kotoran hewan untuk keperluan pupuk, dibolehkan dalam Islam (menurut madzhab Hanafi).
Menjual darah untuk kepentingan transfusi diperbolehkan asalkan penjualan itu terjangkau oleh yang menerima bantuan darah. Karena yang menjual darah atau donor  memerlukan tambahan gizi untuk kembali memulihkan kondisi tubuhnya sendiri setelah darahnya didonorkan, tentunya untuk memperoleh gizi tambahan tersebut memerlukan biaya.
Demikian juga apabila darah itu dijual kepada suatu Bank Darah atau Yayasan tertentu yang bergerak dalam pengumpulan darah dari para donor, ia dapat meminta bayaran dari yang menerima darah, agar Bank Darah atau yayasan tersebut dapat menjalankan tugasnya dengan lancar. Dana tersebut dapat dipergunakan untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan dalam tugas oprasional Bank Darah dan Yayasan, termasuk gaji dokter, perawat, biaya peralatan medis dan perlengkapan lainnya. Akan tetapi bila penjualan darah itu melampaui batas kemampuan pasien untuk tujuan komersial, jelas haram hukumnya.
F.            Kesimpulan
Tranfusi darah dimaksudkan adalah untuk menolong manusia yang sedang membutuhkan dalam menyelamatkan jiwanya. Ajaran islam bahkan menganjurkan orang untuk menyumbangkan darahnya demi kemanusiaan, bukan untuk komersialisasi. Tujuan mulia tersebut tentu saja harus dibarengi dengan niat yang ikhlas untuk menolong orang lain. Perbuatan itu termasuk amal kemanusiaan yang dianjurkan agama , karena sesuai dengan firman Allah : Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (Al-Maidah 5 : 32)
Dalam transfusi darah itu, tidak dipersyaratkan adanya kesamaan agama/kepercayaan antara donor (pemberi) maupun resipien (penerima). Semua dilakukan untuk menolong dan menghormati harkat dan martabat manusia.
Dengan demikian, bahwa hukum transfusi darah menurut Islam adalah boleh, karena tidak adanya hadis atau ayat yang jelas dan tegas melarangnya.
Mengingat semua jenis darah termasuk darah manusia adalah najis, maka timbul pertanyaan : bolehkah memperdagangkan darah? disini mahzab Hanafi menyatakan bahwa jual beli barang najis yang ada manfaatnya bagi manusia seperti kotoran hewan hukumnya boleh, maka secara analogis mahzab ini berpendapat bahwa jual beli darah juga hukumnya boleh. Akan tetapi secara etis dan moral hal ini sangat tercela, karena bertentangan dengan tujuan semula yang mulia yakni menyelamatkan jiwa manusia.


[1] Mahjudin, Masailul Fiqhiyah (Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini), (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), hlm. 89 dalam Husain Muhammad Makhluff, Fataawaa Syariiyah wa-Buhuutsul Islaamiyah, Juz II, (Qairo: Al-Madaniy, 1971), hlm. 218.
[2] Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary (ed.), Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2002) Cet. 3, hlm. 55.
   [3] Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary (ed.), Problematika Hukum Islam ..., hlm. 58.

 
 TRANSFUSI DARAH MENURUT ISLAM
A.           Pendahuluan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dalam ilmu kedokteran didorong oleh keinginan manusia untuk mempertahankan eksistensi dan pemenuhan akan kebutuhannya. Ilmu dan teknologi kedokteran menurut pandangan Islam mestinya dikembangkan dalam rangka mengaktualisasikan potensi diri yang bersifat insan, kekhalifahan, kerisalahan dan pengabdian kepada Allah dan kepada sesama manusia.
Kini, produk ilmu teknologi dan kedokteran seperti transfusi darah menimbulkan permasalahan jika ditinjau dari hukum Islam. Memvoniskan hukum yang bersifat hitam putih (boleh-tidak-boleh) dalam menanggulangi permasalahan tersebut dapat menghambat perkembangan ilmu dan ternologi kedokteran itu sendiri.
Di samping itu, secara sosologis masyarakat lazim melakukan donor darah untuk kepentingan pelaksanaan transfusi, baik secara sukarela maupun dengan menjual kepada yang membutuhkannya. Keadaan itu perlu ditentukan status hukumnya atas dasar kajian ilmiah.
Berdasarkan Pendahuluan diatas maka kami pandang perlu pendalaman dan pemahaman lagi dalam menanggapi kasus masyarakat masa kini yang tidak ditemukan di dalam al-Qur’an dan Hadits. Maka disuruhlah manusia untuk mempergunakan akalnya agar bisa memikirkan dan memecahkan problema yang dihadapi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadits. Oleh karenanya maka pada kesempatan kali ini kami kan membahas makalah yang berjudul “Hukum Transfusi Darah Menurut Pandangan Islam”. Di dalam makalah ini kami akan bahas pengertian transfusi darah, unsur darah dan fungsinya, hukum melakukan transfusi darah dan hukum menjual darah untuk kepentingan transfusi.
B.            Pengertian Transfusi Darah
Kata transfusi darah berasal dari bahasa Inggris “Blood Transfution” yang artinya memasukkan darah orang lain ke dalam pembuluh darah orang yang akan ditolong. Hal ini dilakukan untuk menyelamatkan jiwa seseorang karena kehabisan darah. Menurut Asy-Syekh Husnain Muhammad Makhluuf merumuskan definisinya sebagai berikut:[1]
نَقْلُ الدَّمِ لِلْعِلاَجِ هُوَ اْلإِ نْتِفَاعُ  بِدَمِ اْلإِنْسَانِ بِنَقْلِهِ  مِنَ الصَّحِيْحِ إِلَى الْمَرِيْصِ لاِنْقَاذِ حَيَاتِهِ
Yang artinya “Transfusi darah adalah memanfaatkan darah manusia, dengan cara memindahkannya dari (tubuh) orang yang sehat kepada orang yang membutuhkannya, untuk mempertahankan hidupnya.
Darah yang dibutuhkan untuk keperluan transfusi adakalanya secara langsung dari donor dan adakalanya melalui Palang Merah Indonesia (PMI) atau Bank Darah. Darah yang disimpan pada Bank darah sewaktu-waktu dapat digunakan untuk kepentingan orang yang memerlukan atas saran dan pertimbangan dokter ahli, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan antara golongan darah donor dan golongan darah penerimanya.
Oleh karena itu, darah donor dan penerimanya harus dites kecocokannya sebelum dilakukan transfusi. Adapun jenis-jenis darah yang dimiliki manusia yaitu golongan AB, A, B, dan O.
Golongan-golongan yang dipandang sebagai donor darah adalah sebagai berikut:
·         Golongan AB dapat memberi darah pada AB
·         Golongan A dapat memberi darah pada A dan AB
·         Golongan B dapat memberi darah pada B dan AB
·         Golongan O dapat memberi darah kesemua golongan darah
Adapun golongan darah dilihat dari segi resipien atau penerima adalah sebagai berikut:
·           Golongan AB dapat menerima dari semua golongan
·           Golongan A dapat menerima golongan A dan O
·           Golongan B dapat menerima golongan B dan O
·           Golongan O hanya dapat menerima golongan darah O
Meskipun demikian, sebaiknya transfusi dilakukan dengan golongan darah yang sama, dan hanya dalam keadaan terpaksa dapat diberikan darah dari golongan yang lain.

C.           Unsur-unsur Darah dan Fungsinya
Darah adalah jaringan cair yang terdiri dari dua bagian, yaitu cairan yang disebut plasma dan sel darah. Darah secara keseluruhan kira-kira seperduabelas dari badan atau kira-kira lima liter. Sekitar 55 persennya adalah cairan atau plasma, sedangkan 45 persen sisanya adalah sel darah yang terdiri dari tiga jenis, yaitu sel darah merah, sel darah putih, dan butir pembeku (trambosit).
Dengan demikian darah manusia mempunyai empat unsur yaitu plasma darah, sel darah merah, sel darah putih, dan butir pembeku atau trombosit. Plasma adalah cairan yang berwarna kuning dan mengandung  91,0 persen air, 8,5 persen protein, 0,9 persen mineral, dan 0,1 persen sejumlah bahan organik seperti lemak, urea, asam urat, kolesterol dan asam amino. Plasma darah berfungsi sebagai perantara untuk menyalurkan makanan, lemak, dan asam amino ke jaringan tubuh. Plasma merupakan perantara untuk mengangkut bahan buangan seperti urea, asam urat dan sebagai karbon dioksida. Selain itu plasma juga berfungsi untuk menyegarkan cairan jaringan tubuh, karena melalui cairan ini semua sel tubuh menerima makanannya
Unsur kedua dari darah manusia dalah sel darah merah. Dalam setiap milimeter kubik darah terdapat 5 juta sel darah merah. Sel darah merah memerlukan protein, karena strukturnya terbentuk dari asam amino. Sel darah merah bekerja sebagai sistem transpor dari tubuh, mengantarkan semua bahan kimia, oksigen dan zat makanan yang diperlukan tubuh supaya fungsi normalnya dapat berjalan, dan menyingkirkan karbon dioksida dan hasil buangan lainnya serta mengatur napas keseluruh tubuh.
Unsur yang ketiga yaitu sel darah putih, bening dan tidak berwarna, bentuknya lebih besar dari sel darah merah namun jumlahnya sedikit yaitu setiap milimeter kubik darah terdapat 6.000 sampai 10.000 sel darah putih. Sel darah putih sangat penting bagi kelangsungan kesehatan tubuh. Sel darah putih berfungsi untuk membekukan daerah yang terkena infeksi atau cidera, menangkap organisme hidup dan menghancurkannya, menyingkirkan kotoran, menyediakan bahan pelindung yang melindungi tubuh dari serangan bakteri dan dengan cara ini jaringan yang sakit atau terluka dapat dibuang dan dipulihkan.
Unsur yang terakhir adalah butir pembeku atau trambosit. Bentuknya lebih kecil dari sel darah merah, kira-kira sepertiganya. Terdapat 300.000 trambosit dalam setiap milimeter kubik darah. Trambosit berfungsi untuk membekukan darah yang keluar dari anggota tubuh yang terluka, sehingga darah tersebut dapat bertahan. Seandainya tidak ada sel pembeku, darah yang sementara ke luar dari anggota tubuh  yang terluka tidak dapat bertahan, sehingga orang bisa mati karena kehabisan darah.
Demikian komposisi dan fungsi darah yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia. Oleh sebab itu orang-orang yang kekurangan darah karena terlalu banyak  mengeluarkan darah ketika kecelakaan, terkena benda tajam atau karena muntah darah dan lainnya, perlu diberikan tambahan darah dengan jalan transfusi darah.
D.           Hukum Transfusi Darah
Menurut hukum Islam pada dasarnya, darah yang dikeluarkan dari tubuh manusia termasuk najis mutawasithah. Maka darah tersebut hukumnya haram untuk dimakan dan dimanfaatkan, sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 3:
...
” Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah,..
Ayat diatas pada dasarnya melarang memakan maupun mempergunakan darah, baik secara langsung ataupun tidak. Akan tetapi apabila darah merupakan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan jiwa seseorang yang kehabisan darah, maka mempergunakan darah dibolehkan dengan jalan transfusi. Bahkan melaksanakan transfusi darah dianjurkan demi kesehatan jiwa manusia,[2] sebagaimana firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 32 yang berbunyi sebagai berikut:
ô`tBur... $yd$uŠômr& !$uK¯Rr'x6sù $uŠômr& }¨$¨Y9$# $YèÏJy_ ...
 “... Dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya....”
Yang demikian itu sesuai pula dengan tujuan syariat Islam, yaitu bahwa sesungguhnya syariat Islam itu baik dan dasarnya ialah hikmah dan kemaslahatan bagi umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.
Kemaslahatan yang terkandung dalam mempergunakan darah dalam transfusi darah adalah untuk menjaga keselamatan jiwa seseorang yang merupakan hajat manusia dalam keadaan darurat, karena tidak ada bahan lain yang dapat dipergunakan untuk menyelamatkan jiwanya. Maka, dalam hal ini najis seperti darah pun boleh dipergunakan untuk mempertahankan kehidupan. Misalnya seseorang yang menderita kekurangan darah karena kecelakaan, maka dalam hal ini diperbolehkan menerima darah dari orang lain. Hal tersebut sangat dibutuhkan (dihajatkan) untuk menolong seseorang yang keadaannya darurat, sebagaimana keterangan Qaidah Fiqhiyah yang berbunyi:
اَلْحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ عَامَّةً كَانَتْ أَوْ خَاصَّةً.
“Perkara hajat (kebutuhan) menempati posisi darurat (dalam menetapkan hukum Islam), baik yang bersifat umum maupun yang khusus.”
لاَحَرَامَ مَعَ الًضَّرُوْرَةِ وَلاَكَرَاهَةَ مَعَ الْحَاجَةِ.
 “Tidak ada yang haram bila berhadapan dengan keadaan darurat, dan tidak ada yang makruh bila berhadapan dengan hajat (kebutuhan).”
Maksud yang terkandung dalam kedua Qaidah tersebut menunjukkan bahwa Islam membolehkan hal-hal yang makruh dan yang haram bila berhadapan dengan hajat dan darurat. Dengan demikian transfusi darah untuk menyelamatkan seorang pasien dibolehkan karena hajat dan keadaan darurat.
Kebolehan mempergunakan darah dalam transfusi dapat dipakai sebagai alasan untuk mempergunakannya kepada yang lain, kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan kebolehannya. Hukum Islam melarang hal yang demikian, karena dalam hal ini darah hanya dibutuhkan untuk ditransfer kepada pasien yang membutuhkannya saja, sesuai dengan kaidah Fiqhiyah:
مَا أُبِيْحُ لِلضَّرُوْرَةِ بِقَدْرِ تَعَزُّرِهَا.
Sesuatu yang dibolehkan karena  darurat dibolehkan hanya sekedar menghilangkan kedharuratan itu.”
Memang dalam Islam membolehkan memakan darah binatang bila betul-betul dalam keadaan darurat, sebagaimana keterangan dalam ayat al-Qur’an yang berbunyi sebagai berikut:

 “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ayat diatas menunjukkan bahwa bangkai, darah, daging babi dan binatang yang ketika disembelih disebut nama selain nama Allah, adalah haram dimakan. Akan tetapi apabila dalam keadaan terpaksa dan tidak melampaui batas, maka boleh dimakan dan tidak berdosa bagi yang memakannya.
Sesungguhnya Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama. Maka penyimpangan terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh nash dalam keadaan terpaksa dapat dibenarkan, asal tidak melampaui batas. Keadaan keterpaksaan dalam darurat tersebut bersifat sementara, tidak permanen. Ini hanya berlaku selama dalam keadaan darurat.
E.            Hukum Menjual Darah Untuk Kepentingan Transfusi
Jual beli termasuk salah satu sistem ekonomi Islam. Dalam Islam, ekonomi lebih berorientasi kepada nilai-nilai logika, etika, dan persaudaraan, yang kehadirannya secara keseluruhan hanyalah untuk mengabdi kepada Allah. Lalu bagaimanakah hukum menjual darah untuk kepentingan transfusi?
Dalam hadits Jabir yang diriwayatkan dalam kedua kitab shahih, Bukhari dan Muslim. Jabir berkata yang artinya sebagai berikut:[3]
“Rasulullah saw. bersabda, sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan memperjualbelikan khamar, bangkai, babi dan berhala. (lalu Rasulullah ditanya para sahabat), bagaimana (orang Yahudi) yang memanfaatkan minyak bangkai; mereka pergunakan untuk memperbaiki kapal dan mereka gunakan untuk menyalakan lampu? Rasul menjawab, semoga Allah melaknat orang Yahudi, diharamkan minyak (lemak) bangkai bagi  mereka, mereka memperjualbelikannya dan memakan (hasil) harganya.”
Hadits Jabir ini menjelaskan tentang larangan menjual najis, termasuk didalamnya menjual darah, karena darah juga termasuk najis sebagaimana yang dijelaskan oleh surah Al-Maidah ayat 3. Menurut hukum asalnya menjual barang najis adalah haram. Namun yang disepakati oleh para ulama hanyalah khamar atau arak dan daging babi. Sedangkan memperjualbelikan barang najis yang bermanfaat bagi manusia, seperti memperjualbelikan kotoran hewan untuk keperluan pupuk, dibolehkan dalam Islam (menurut madzhab Hanafi).
Menjual darah untuk kepentingan transfusi diperbolehkan asalkan penjualan itu terjangkau oleh yang menerima bantuan darah. Karena yang menjual darah atau donor  memerlukan tambahan gizi untuk kembali memulihkan kondisi tubuhnya sendiri setelah darahnya didonorkan, tentunya untuk memperoleh gizi tambahan tersebut memerlukan biaya.
Demikian juga apabila darah itu dijual kepada suatu Bank Darah atau Yayasan tertentu yang bergerak dalam pengumpulan darah dari para donor, ia dapat meminta bayaran dari yang menerima darah, agar Bank Darah atau yayasan tersebut dapat menjalankan tugasnya dengan lancar. Dana tersebut dapat dipergunakan untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan dalam tugas oprasional Bank Darah dan Yayasan, termasuk gaji dokter, perawat, biaya peralatan medis dan perlengkapan lainnya. Akan tetapi bila penjualan darah itu melampaui batas kemampuan pasien untuk tujuan komersial, jelas haram hukumnya.
F.            Kesimpulan
Tranfusi darah dimaksudkan adalah untuk menolong manusia yang sedang membutuhkan dalam menyelamatkan jiwanya. Ajaran islam bahkan menganjurkan orang untuk menyumbangkan darahnya demi kemanusiaan, bukan untuk komersialisasi. Tujuan mulia tersebut tentu saja harus dibarengi dengan niat yang ikhlas untuk menolong orang lain. Perbuatan itu termasuk amal kemanusiaan yang dianjurkan agama , karena sesuai dengan firman Allah : Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (Al-Maidah 5 : 32)
Dalam transfusi darah itu, tidak dipersyaratkan adanya kesamaan agama/kepercayaan antara donor (pemberi) maupun resipien (penerima). Semua dilakukan untuk menolong dan menghormati harkat dan martabat manusia.
Dengan demikian, bahwa hukum transfusi darah menurut Islam adalah boleh, karena tidak adanya hadis atau ayat yang jelas dan tegas melarangnya.
Mengingat semua jenis darah termasuk darah manusia adalah najis, maka timbul pertanyaan : bolehkah memperdagangkan darah? disini mahzab Hanafi menyatakan bahwa jual beli barang najis yang ada manfaatnya bagi manusia seperti kotoran hewan hukumnya boleh, maka secara analogis mahzab ini berpendapat bahwa jual beli darah juga hukumnya boleh. Akan tetapi secara etis dan moral hal ini sangat tercela, karena bertentangan dengan tujuan semula yang mulia yakni menyelamatkan jiwa manusia.


[1] Mahjudin, Masailul Fiqhiyah (Berbagai Kasus yang Dihadapi Hukum Islam Masa Kini), (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), hlm. 89 dalam Husain Muhammad Makhluff, Fataawaa Syariiyah wa-Buhuutsul Islaamiyah, Juz II, (Qairo: Al-Madaniy, 1971), hlm. 218.
[2] Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary (ed.), Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2002) Cet. 3, hlm. 55.
   [3] Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary (ed.), Problematika Hukum Islam ..., hlm. 58.