I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sepeninggal Rosulullah SAW, kekhalifahan umat islam selanjutnya dipimpin oleh khulafa arrasyidin. Dengan persetujuan pemuka umat islam pada saat itu, mereka setuju memilih Abu Bakar As-Siddiq sebagai pengganti Rosulullah SAW. Beliau memimpin umat islam selama 3 tahun yaitu sejak tahun tahun 11-13 H/ 632-634 M. Setelah beliau wafat selanjutnya tampu kemimpinan umat islam diserahkan kepada Umar Bin Khattab. Umar Bin Khattab memimpin umat islam kurang lebih selama 10 tahun 6 bulan yaitu terhitung sejak tahun 13-23 H/ 634-644 M. Saat Umar Bin Khattab meninggal, kembali tampu kepemimpinan diserahkan kepada Usman Bin Affan. Beliau memimpin umat islam selama 12 yaitu sejak tahun tahun 24-35 H/ 644-656 M. Namun kembali umat islam harus kehilangan pemimpin mereka dan akhirnya tampu kepemimpinan diserahkan kepada Ali Bin Abi Thalib. Namun dalam pemilihan beliau tidak semua umat islam setuju, diantara mereka yang tidak setuju ialah Aisyah, Mu’awiyah Bin Abu Suffyan, Hasan Bin Sabit, Ka’ab Bin Malik, Abu Sa’id Al-Khuldriy dan Muhammad Bin Maslamah. Ali Bin Abi Thalib hanya memimpin Umat islam selama 4 tahun 9 bulan yaitu sejak tahun 36-41 H/656-661 M. Setelah beliau wafat berakhirlah kepemimpinan Khulafa Arrasyidin.
Selanjutnya penyebaran agama islam terus meluas yang di pimpin oleh dinasti Bani Umayah dan di lanjutkan dengan dinasti Bani Abbasiyah . Meluasnya penyebaran agama Islam di dunia ini, hingga sampai ke benua Eropa. Selama tujuh abad lamanya Islam masuk ke Eropa dengan menggunakan strategi peperangan, sehingga terjadilah perang yang di kenal dengan perang salib. Maka didalam makalah ini, pemakalah akan membahas tentang terjadinya perang salib dan sebab-sebab kemunduran bani Abbasiyah.
B.Batasan Masalah
Sesuai dengan judul makalah ini yaitu “Terjadinya Perang Salib Dan Sebab-Sebab Kemunduran Bani Abbasiyah”, maka penulis membatasi pembahasan masalah pada:
1.Seputar terjadinya perang salib
2.Awal kemunduran dan kehancuran Dinasti Abbasiyah
C. Rumusan masalah.
Adapun rumusan masalah yang akan kami bahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah sebab terjadinya perang salib dan berapa periode perang salib terjadi ?
2. Apakah penyebab runtuhnya dinasti Abbasiyah sehingga melahirkan kerajaan-kerajaan kecil ?
3. Apakah Akibat terjadinya perang salib ?
II. Pembahasan
A. Sebab Terjadinya Perang Salib
Penyebab terjadinya dari Perang salib adalah permohonan Kaisar Alexius I kepada Paus Urbanus II untuk menolong Kekaisaran Byzantium menahan laju invasi tentara Muslim ke dalam wilayah kekaisaran tersebut. Pada tahun 1071, di Pertempuran Manzikert, Kekaisaran Byzantium telah dikalahkan oleh pasukan Muslim Seljuk dan kekalahan ini berujung kepada dikuasainya hampir seluruh wilayah Asia Kecil (Turki modern)[1]. Peristiwa besar ini menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen tehadap umat islam, yang kemudian mencetuskan perang salib. Kebencian itu bertambah setelah dinasti Seljuk dapat merebut Bait Al-Maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukan dimesir. Penguasa Seljuk menetapkan beberapa peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah kesana. Peraturan ini dirasakan sangat menyulitkan mereka[2]. Untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah ketanah suci Kristen itu, pada tahun 1095 M, Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa supaya melakukan perang suci[3]. Perang in kemudian dikenal dengan Perang Salib, yang terjadi dalam tiga periode:
1. Periode Pertama
Pada musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel kemudian ke Palestina. Tentara salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasi menaklukan Nicea dan tahun 1098 M, menguasai Raha (Edessa). Disini mereka mendirikan kerajaan Latin I dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka menguasai Antiochea dan mendirikan kerajaan latin II ditimur. Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Bait Al-Maqdis (15 Juli 1099 M) dan mendirikan kerajaan latin III dengan rajanya Godfrey. Setelah penaklukan Bait Al-Maqdis itu, tentara salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M). Tripoli (1109 M), dan kota Tyre (1124 M). di Tripoli mereka mendirikan kerajaan latin IV, rajanya adalah Raymond[4].
2. Periode Kedua
Imaduddina Zanki, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa pada tahun 1144 M. Namun, ia wafat tahun 1146 M. Tugasnya dilanjutkan oleh putranya, Nuruddin Zanki. Nuruddin berhasil merebut kembali Antiochea pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali. Kejatuhan Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan perang salib ke II. Paus Eugenius III menyerukan perang suci yang disambut baik oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin pasukan salib untuk merebut wilayah Kristen di Syiria, akan tetapi gerak laju mereka dihambat oleh Nuruddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri pulang ke Negerinya[5]. Nuruddin wafat pada tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Shalah Al-Din Al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiah dimesir tahun 1175 M. Hasil peperangan Shalah Al-Din yang terbesar adalah merebut kembali Yerussalem pada tahun 1187 M. Dengan demikian, kerajaan latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir.
Jatuhnya Yerussalem ketangan kaum Muslimin sangat memukul perasaan tentara salib. Mereka pun menyusun rencana balasan. Kali ini tentara salib dipimpin oleh Frederick Barbarossa, raja Jerman, Richard The Lion Hart, Raja Inggris, dan Philip Augustus, raja Perancis. Pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M. meskipun mendapat tantangan berat dari Shalah Ad-Din, namun mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadika ibu kota kerajaan latin. Akan tetapi, mereka tidak berhasil memasuski Palestina. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara tentara salib dan Shalah Ad-Din yang disebut dengan Shuh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang-orang Kristen yang pergi berziarah ke Bait Al-Maqdis tidak akan diganggu[6].
3. Periode ketiga
Tentara salib pada periode ini dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Kali ini mereka berusaha merebut Mesir terlebih dahulu sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Pada tahun 1219 M, mereka berhasil menduduki Dimyat. Raja Mesir dari dinasti Ayyubiyah waktu itu, Al-Malik Al- Kamil, membuat perjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara Al-Malik Al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin disana dan Frederick tidak mengirim kepada Kristen di Syria[7]. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin pada tahun 1427 M, dimasa pemerintahan Al-Malik Al-Shalih, penguasa Mesir selanjutnya. Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti Mamalik yang menggantikan posisi dinasti Ayyubiah pimpinan perang dipegang oleh Baybras dan Qalawun. Pada masa merekalah Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin pada tahun 1291 M.
Demikianlah perang salib yang berkobar di Timur. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai umat muslim terusir dari sana. Walaupun umat islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi diwilayahnya. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik umat islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian, mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah belah. Banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.
B. Sebab-sebab kemunduran Bani Abbasiyah
Sebagaimana terlihat dalam periodesasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak peroide kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode awal.
Semenjak awal pemerintahan Harun Al-Rasyid (786-809) problem suksesi menjadi sangat kritis. Harun telah mewasiatkan tahta kekhilafahan kepada putra tertuanya yaitu Al-Amin, dan putranya yang lebih muda yang bernama Al-Makmun, seorang gubernur Khurasan dan yang berhak menjabat tahta khilafah sepeniggal kakaknya. Setelah kematian Harun, Al-Amin berusaha mengkhianati hak adiknya dan menunjuk putranya sebagai penggantinya kelak. Akibatnya pecahlah perang sipil. Al-Amin didukung oleh militer Abbasiyah di Baghdad, sementara Al-Makmun harus berjuang untuk memerdekakan Khurasan dalam rangka mendapatkan dukungan dari pasukan perang Khurasan. Al-Makmun berhasil mengalahkan saudara tuanya, Al-Amin dan mengklaim khilafah pada tahun 813, namun peperangan sengit tersebut tidak hanya melemahkan kekuatan militer Abbasiyah melainkan juga melemahkan warga irah dan sejumlah propinsi lainnya.
Disamping kelemahan khalifah, banyak juga faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Persaingan Antarbangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Stryzewska[8], ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia dari pada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan dinasti Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ‘ashabiyyah kesukuan. Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan diatas ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir ditubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab didunia islam[9].
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah pada peroide pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti, Maroko, Syiria, Irak, Persia, Turki, dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit, kecuali islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat[10]. Akibatnya, disamping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu’ubiyah.
2. Angkara Murka Terhadap Bani Umayyah dan Alawiyyin
Keluarga Abbasiyah melakukan siasatnya dengan murka, akibatnya merugikan mereka sendiri. Mereka lupa bahwa berdirinya daulat mereka adalah hasil kerja sama dengan keluarga Allawiyyin yang tidak sedikit jasanya dalam merebut kekuasaan Umayyah. Demikian pula selalu memusuhi keluarga Umayyah, menyebabkan orang-orang pada umumnya semakin tidak simpatik terhadap keluarga Bani Abbasiyah. Permusuhan keluarga besar Abbasiyah dan Allawiyyin menimbulkan pemberontakan hampir diseluruh Negara-negara islam.
3. Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran dibidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari pada dana yang keluar sehingga bait Al-Mal penuh dengan harta[11]. Penambahan dana yang diperoleh antara lain dari al-kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan Negara menurun, sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan Negara itu disebabkan oleh semakin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyakknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak, dan banyaknya dinasti –dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti.
4. Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme, dan Mazdakisme. Muncul gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-Manshur berusaha keras memberantasnya. Al-Mahdi bahkan merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah (inquisisi/penyelidikan) dengan tujuan memberantas bid’ah[12]. Akan tetapi semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dan kaum Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemic tentang ajaran sampai pada konflik besenjata yang menumpahkan darah dikedua belah pihak.
Konflik yang dilatar belakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindiq atau Ahlussunnah dan Syi’ah saja, tetapi juga ataraliran dalam islam. Mu’tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bi’ad oleh golongan salaf. Perselisihan antar golongan ini dipertajam oleh Al-Makmun khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi Negara dan melakukan mihnah. Pada masa Al-Mutawakkil (847-861), aliran Mu’tazilah dibatalkan sebagai aliran Negara dan golongan salaf kembali sebagai aliran Negara dan golongan salaf kembali naik daun. Tidak tolerannya aliran Hambali itu (salaf) terhadap Mu’tazilah yang rasisonal telah menyempitkan horizon intelektual[13].
5. Ancaman dari Luar
Apa yang dimaksud diatas merupakan faktor-faktor internal. Disamping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur. Pertama perang salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban. Kedua, serangan tentara Mongol kewilayah kekuasaan islam. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada diwilayah kekuasaan islam. Namun, diantara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan perang salib dan melibatakn diri dalam tentara salib itu[14].
Pengaruh salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci islam karena ia banyak dipengaruhi orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti-islam itu dan diperkeras dikantong-kantong ahli kitab. Tentara Mongol, setelah menghancurleburkan pusat-pusat islam, ikut memperbaiki Yerussalem[15].
6. Tumbuhnya Kerajaan Kecil Yang Terpecah-pecah
Amat besar bahaya umat Turki atas daulat Bani Abbasiyah. Beberapa orang khalifah jatuh menjadi korban mereka. Kekacauan timbul dimana-mana, sedang diri khalifah sendiri pun menjadi permainan ditangan-tangan panglima-panglima Turki. Perselisihan antara tentara dan rakyat sering terjadi.
Permusuhan yang terjadi diantara panglima-panglima Turki sendiripun kian menambah buruk dan keruh suasana daulat itu. Kelemahan pemerintah pusat di Baghdad itu menjadi peluang sebaik-baiknya bagi kepala-kepala pemerintah wilayah untuk melakukan pengkhianatannya. Mereka berusaha memutuskan hubungan dengan khalifah, lalu mendirikan kerajaan sendiri-sendiri didaerah mereka. Dengan demikian, terpecahlah tali persatuan daulat Bani Abbasiyah dan berdirilah kerajaan-kerajaan kecil (imarat) dalam wilayah daulat itu sendiri. Berikut beberapa kerajaan-kerajaan kecil yang berdiri dijaman daulah Bani Abbasiyah:
a. Daulat Bani Umayyah di Andalusia
Didirikan oleh Amir Abdurrahman Addakhil bin Muawiyah bin Hisyam pada tahun 138 H (749/750 M), yaitu ketika daulat Abbasiyah dalam masa kebesarannya. Abdurrahman adalah seorang pelarian keluarga Umayyah yang menghindari penindasan Abbasiyah. Di Andalusia (Eropa) Abdurrahman menjadi raja saingan Bani Abbasiyah
b. Daulat Bani Idris di Maroko
Berdiri tahun 172-311 H (788-923 M) dan didirikan oleh Idris bin Abdullah, seorang keturunan Ali bin Abi Thalib. Daulat ini berdiri dijaman khalifah Harun Al-Rasyid.
c. Daulat Bani Aglab di Tunis
Berdiri pada tahun 205-259 H (800-908 M) dan didirikan oleh Ibrahim bin Aghlab, sebagai kurnia dari Harun Al-Rasyid sendiri kepada keluarga Bani Aghlab.
d. Daulat Thahiriyah di Khurasan
Berdiri pada tahun 205-259 H (820-872 M) dan didirikan dijaman khalifah Al-Makmun oleh panglima yang perkasa, Thahir bin Husein, sebagai karunia dari Khalifah atas jasa pahlawan itu dalam mengalahkan tentara Muhammad Al-Amin.
Dikala lemahnya daulat Bani Abbsiyah, yaitu dimasa khalifah-khalifahnya tidak berpengaruh lagi diwaktu kekuasaan berada ditangan amir-amir bangsa Turki, makin bertambahlah kegiatan wilayah-wilayah daulat Bani Abbasiyah untuk melepaskan diri dari ikatan Baghdad. Maka berdirilah di Mesir daulat Bani Toulun (254-292 H/ 868-905 M). Berdiri pula disana daulat Bani Ikhsyid pada tahun 323 H (935 M). Daulat ini berkuasa di Mesir kira-kira 34 tahun lamanya, yaitu sampai kepada masa negeri itu dikuasai keluarga Fathimiyyah pada tahun 358 H (969 M).
Keadaan kerajan-kerajaan ini tidak sekuat daulat Bani Abbasiyah, sebab keadaan yang demikian lebih lemah dan kekuasaan kerajaan semakin mengecil. Kerajaan-kerajaan yang terpisah-pisah itu, selain menimbulkan persaingan untuk saling berebut kekuasaan, juga membuat bangsa Barat dan China Tartar semakin mengintai peluang kelemahan untuk mengadakan serangan terhadap kekuasaan-kekuasaan islam.
C. Analisa
Sejak bergejolaknya perang salib yang terjadi antara umat islam dan orang-orang Kristen, banyak kerugian yang diderita dari pihak islam. Beberapa kerugian yang diderita oleh umat islam antara lain, kemerosotan ekonomi, perpepecahan dikalangan umat islam, hingga runtuhnya peradaban Dinasti Bani Abbasiyah. Belum lagi merajalelanya pemimpin umat islam yang mementingkan diri sendiri. Sungguh kesalahan yang sangat fatal dan merugikan umat islam.
Agaknya kejadian yang terjadi beberapa abad yang lalu terjadi kembali pada masa sekarang. Banyak pemimpin umat islam yang hanya labelnya umat islam namun peraturan yang dibuat bukanlah berdasarkan peraturan islam. Umat islam sekarang bagaikan buih ditengah lautan, yang terhempas oleh ombak yang begitu ganas. Dengan mudahnya umat islam diadu domba oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Sebagai contoh, beberapa tahun yang lalu, Kota Bali diguncang bom yang mengakibatkan rusaknya beberapa hotel dan berjatuhan korban yang tidak sedikit. Korban bukan hanya dari orang-orang diluar islam namun juga orang islam yang berada disekitar kejadian. Yang lebih mencengangkan mereka yang meledakkan bom tersebut adalah orang islam. Bagaimana mungkin ini terjadi jika umat islam tahu betul ajaran islam yang sebenarnya, namun agaknya pemahaman yang mereka miliki jauh dari ajaran islam. Jika hal ini dibiarkan terus menerus maka beberapa tahun mendatang umat islam akan kehilangan jati dirinya sebagai agama yang penuh dengan rahmat dan kasih sayang.
Realita ini tidak dapat dipungkiri lagi, karena semakin banyaknya ajaran agama yang tidak di indahkan oleh umat islam sendiri. Yang seharusnya kita lakukan adalah bagaimana cara kita menghadapi perang salib yang sekarang, sebagai contohnya adalah berbagai macam makanan yang masuk ke indonesia, yang hukumnya masih tanda tanya, halal atau haram, dan juga berbagai jenis macam pakaian dari luar khususnya pakaian bagi wanita, yang secara perlahan-lahan akan merusak budaya islam. Bukan hanya itu saja, perang salib yang kita hadapi sekarang bukanlah dalam bentuk angkat senjata, dengan kekerasan, atau dengan hal-hal yang berhubungan dengan alat peperangan, namun perang salib sekarang adalah berupa perang tehadap berbagai hal yang sedikit demi sedikit telah merusak citra bangsa dan khusunya citra umat islam dimata dunia. Berbagai hal tersebut antara lain adalah perang terhadap kemerosotan moral, nilai etika, budaya, dan perang terhadap pemikiran. Hal seperti inilah yang sekarang menjadi momok yang terus menyerang kita. Apalagi semenjak dibukanya pasar bebas dunia, berbagai macam produk hingga budaya dan pemikiran dengan mudahnya masuk dalam negeri ini dan menjadi suguhan kita sehari-hari. Tengok saja saat ini, dimana masyarakat kita perlahan tapi pasti sudah mulai meninggalkan etika ketimuran yang berciri khas ramah tamah. Kini mereka lebih cenderung mengikuti gaya barat yang mengedepankan kebebasan, akibatnya banyak generasi muda saat ini yang terjerumus dalam pergaulan bebas. Jika hal ini dibiarkan dan tidak ada penanganan yang serius, maka beberapa tahun yang akan datang, generasi kita akan hancur, baik moral maupun tingkah laku mereka.
Oleh karenanya, kita sebagai mahasiswa dan generasi muslim yang dibekali iman kepada Allah, sudah seharusnya membenahi itu semua. Hal yang dapat kita lakukan adalah sebagai berikut:
1. Dimulai dari diri sendiri dengan memperbaiki tingkah laku, mengikuti kajian-kajian keislaman dan menambah wawasan keislaman yang telah tersedia baik dengan cara membaca buku maupun dengan media yang lain
2. Menghindari dari hal-hal yang mengarah pada pergaulan bebas.
3. Menumbuhkan kembali nilai-nilai islam baik dirumah, maupun diluar rumah.
4. Serap dan pelajari banyak-banyak tekhnologi, informasi, komunikasi. Ambil sisi positifnya dan diterapkan pada masyarakat untuk kemaslahatan bersama.
III. Penutup
A. Kesimpulan
Perang salib terjadi akibat irinya orang-orang romawi terhadap perkembangan dan kemajuan yang dicapai umat islam yang dicapai dalam waktu singkat. Akibat hal itu terjadilah perang salib yang banyak memakan korban baik dari pihak islam maupun Kristen. Dari peperangan itu menimbulkan kerugian yang cukup besar hingga berdampak pada kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah yang akhirnya mengalami kemunduran akibat banyaknya konflik internal maupun eksternal.
DAFTAR PUSTAKA
Misbah Ma’ruf, Ja’far Sanusi, Abdulah Khusairi M, Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: CV.WICAKSANA 1994
Yatim Badri, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2010
Lapidus .M. Ira, Sejarah Sosial Umat Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2000
Wahid .N. Abbas, Suratno, Khazanah Sejarah Kebudayaan Islam. Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri 2009
Ali Syed Ameer, The Spirit Of Islam. Yogyakarta: Penerbit Navilla 2008
[1] Heri Perdana Blog,10-11-2011 11:07 AM
[2] Hassan Ibrahim Hassan, Tharikh al-Islam,Jilid IV, (Kairo: Maktabah Al-Nahdhah Al-Mishriyah,1967,hlm. 243-244
[3] Harun Nasution, op. cit, hlm.78
[4] M.Yahya Harun, Perang Salib dan Pengaruh Islam di Eropa, (Yogyakarta: Bina Usaha, 1987), hlm. 12-14
[5] Abd Al-Rahman Tajudddin, Dirasat Fi al-Tharikh al-islami, (Kairo:Maktabah Al-Sunnah Al-Muhammadiyah,1953), hlm.148
[6] Ibid., hlm.153
[7] Ibid
[8] W.Montgomery Watt, Politik….op. cit., hlm.123
[9] Bojena Gajane Stryzweska, op. cit., hlm.390
[10] Philip K. Hitti, op. cit., hlm.485
[11] Philip K. Hitti, Loc.cit.
[12] Philip K. Hitti, op. cit., hlm.470
[13] Syed Ameer Ali, Api Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm.464
[14] Nurcholish Madjid, Khasanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm.35
[15] Sir William Muir, op. cit., hlm.432
0 comments
Post a Comment