Sunday, September 2, 2012

Resume Ilmu Kalam Part 2

BAB IX
ALIRAN ASY’ARIAH

Dalam suasana Mu’tazilah yang keruh Al-Asy’ari dibesarkan dan dididik sampai mencapai usia lanjut. Ia telah membela Aliran Mu’tazilah sebaik-baiknya, kemudian aliran ini ditinggalkannya, bahkan dianggapnya sebagai lawan.
1.      Siapa Al-asy’ari
Namanya Al-Hasanali bin Ismail Al—Asy’ari, beliau dilahirkan di kota Basrah pada tahun 260 H atau 873 M dan wafat pada tahun 324 H atau 935 M, keturunan Bumasa Al-Asy-ari. Pada waktu kecilnya Al-Asyari berguru pada seorang tokoh Mu’tazilah terkenal Abu ali al-jubbai, untuk mempelaji agama-agama mu’tazilah.Aliran ini di anut sampai usia 40 tahun menurut riwayat ,ketika ia mencapai usia 40 tahun, ia mengasingkan diri dan orang banyak di rumahnya selama 15 hari, di mana kemudian ia pergi ke masjid besar basrah untuk menyatakan di depan orang banyak bahwa ia mula-mula memeluk paham Aliram Mu’tazilah. Lalu Al-Asy’ari meninggalkan Aliran Mu’tazilah karena merasa tidak puas terhadap konsepsi aliran tersebut. Karena melihat adanya perpecahan di kalangan kaum muslimin yang bias melemah mereka kalut tidak segera di akhiri sebagai seorang muslim akan keutuhan kaum muslim.
Segera di akhiri sebagai seorang muslim akan keutuhan kaum muslim ia sangat  mengkhawatirkan qur’an dan hadis nabi yang akan menjadi korban aliran mu’tazilah menurut pendapat nya tidak dapat di benarkan karena di dasarkan atas pemujaan kekuatan akal pikiran.
Faktor-faktor yang menguntungkan bagi Al-Asy’ari
a)         Kaum muslimin pada waktu itu sudah bosan menghadapi dan mendengarkan perbedaan dan pertentangan yang berakibat ketidaksenangan terhadap aliran tersebut.
b)        Imam Asy’ari sendiri seorang yang ulung dalam perdebatan dan mempunyai ilmu yang cukup mendalam.
c)         Sejak masa Al-Mutawakkil telah meninggalkan aliran mu’tazilah.
d)        Imam Asy’ari mempunyai pengikut-pengikut yang kuat dan yang selalu menyebarkan ajaran-ajarannya.
e)         Pemerintah Banu Buwaihi yang bercorak syiah dan menjadi tulang punggung aliran mu’tazilah telah di gantikan oleh pemerintah saljuk turki yang bercorak sunni menyokong aliran Ahlussunnah.

2.      Karangan-Karangannya
Karangannya yang terkenal dan sampai kepada kita ada tiga yaitu:
a)        Mawatul Islaniyyin
b)        Al-Ibanah’anUsulidDiyanah
c)        Al-Luma’

3.      CorakPikirannya
Ia menentang dengan kerasnya mereka yang mengatakan bahwa pemakaian akal pikiran dalam soal-soal agama atau membahas soal-soal yang tidak pernah di singgung oleh rasul merupakan suatu kesalahan.

4.      Pendapatnya
Hampir setiap pendapatnya bercirikan pengambilan jalan tengah antara pendapat pihak-pihak yang berlawanan pada masanya, contohnya:
a.       Sifat
Aliran mu’tazilah tidak mengaku sifatsifat wujud, qidam, baqa dan wahdaniah sifat zat lain seperti sama basher dll tidak lain hanya zat tuhan sendiri.
b.      KekuasaanTuhan Dan PerbuatanManusia
Menurut aliran mu’tazilah, manusia itulah yang mengerjakan perbuatannya dengan suatu kekuasaan yang di berikan tuhan kepadanya. Menurut aliran jabariah manusia tidak berkuasa mengadakan sesuatu.
c.       MelihatTuhanPadaHariKiamat
Menurut aliran Muta’zilah tuhan tidak dapat di lihatdengan mata kepala. Menurut golongan Musyabbihah, tuhan dapat di lihatdengan cara tertentu .
d.      DosaBesar
Aliran mu’tazilah mengatakan apabila pembuat dosa besar tidak bertaubat dan dosanya itu,meskipun ia mempunyai iman dan ketaatan , tidak akan keluar dari neraka.
Demikianlah beberapa pendapat imam asy’ari.

5.      Tokoh- tokohAliranAsy.ari
a.      Al-Baqillani (wafat 403H)
b.      IbnuFaurak (wafat 406)
c.       IbnuIshak Al—Isfarauni( wafat 418H)
d.      Abdul Kahir al-bagdadi(wafat 429H)
e.      Imam al- juwaini(wafat478H)
f.        Abdul mudzaffar al-isfraini (wafat478H)
g.      Al-Ghazali(wafat505H)
h.      IbnuTumart (wafat 524H)
i.        As-Syihristani (wafat548H)
j.        Ar-Razi (wafat1149-1209M)
k.       Al-Iji (wafat756H/1359M)
l.        As-sanusi (wafat859H)
Inilah mereka yang mempunyai usaha- usaha yang jelas dalam menyiarkan dan menjelaskan ajaran-ajaran Imam Al-asy’ari
Yaitu:                   a. Al-Baqillani             b.Al- JUwaini              c.Al-Ghazali
1.      Perkembangan Aliran Asy’ariah
Pikiran- pikiran imam al asy’ari merupakan jalan tengah antara golongan-golongan yang berlawanan atau antara aliran rasionalis dan textualis .Jadi, aliran pada akhir perkembangannya me3ndekati aliran Mu.tazilah karena kedua aliran tersebut memegangi prinsip yang  mengatakan bahwa pengetahuan yang di dasarkan atas unsu-unsur naqli tidak memberikan keyakinan kepada kita.

2.      Aliran As’Syariah Identik Dengan AhlusSunnah
Pendapat-pendapatnya di sebut “pendapat ahlussunnahwaljamaah” atau  “ahlusunnah” (tanpa al jamaah) dan sebutan ini banyak di pakai, atau sebutan “madzahibussalaf waahlussunnah”
Penyebutan ahlussunnah sudah di pakai sejak sebelum al’asy’ari mereka yang apabila menghadapi sesuatu peristiwaKebalikan dari  merekaialah “ahlur Raji”(pemegang pendapat pikiran). Dari penghubungkedua metode alirantersebut timbullah aliran tengah-tengah aliran  as-syfi’I. Pada waktu aliran mu’tazilah timbul dalam lapangan “aqidah dengan pendapat-pendapatnya yang bercorak rasionalis dan tidak segan-segan menolak hadis-hadis yang berlawanan dengan ketentuan akal pikiran.

3.      AqidahAhlussunnahWalJamaah
Ciri akidah ahlussunnah waljamaah harus di cari pada”aqidah” yang berbeda dengan aqidah golongan lain, terutama aliran mu’tazilah. Kepercayaan-kepercayaan ahlussunah antara lain:
a.         Tuhan bisa di lihatdengan mata kepala di akhirat
b.        Sifat tuhan
c.         Qr’an sebgai manifestasi kalamullah yang qadima dlh qadim, sedang quran yang berupa huruf dan suar adalah baru
d.        ciptaan tuhan tidak karena tujuan
e.         Tuhan menghendaki kebaikan
f.         tuhan tidak wajib:
·         Membuat yang baik dan terbaik
·         Mengutus utusan(rasul-rasul)
·         Memberipahalakepada orang yang taatdanmenjatuhkansiksaatar orang yang durhaka.
g.        Tuhan boleh member beban di atas kesanggupan mereka
h.        Kebaikan dan keburukan tidak dapat di ketahui
i.          Pekerjaan manusia tuhanlah yang menjadikannya.
j.          Ada syafaat  pada hari kiamat
k.        Utusan Nabi MuhammadSAW  di perkuat dengan mukjizat-mukjizat.
l.          Kebangkitan di akhirat
m.      Syurga dan neraka Makhlik kedua-duanya
n.        Semua sahabat-sahabat Nabi adil dan baik
o.        Sepuluh orang sahabat yang di janjikan masuk syurga oleh nabi pasti terjadi
p.        Ijmaadalahsuatukebenaran yang harus di terima
q.        Orang mukmin yang mengerjakan Dosa besar akan masuk neraka sampai selesai menjalani siksa dan akhirnya masuk surga.




4.      Perluasa Arti AhlusSunnah Waljamaah.
Di atas telah di sebutkan, bahwa sebutan “ahlussunnah” pertama- tama di pakai untuk aliran asy’ariah, jadi aliran teology islam. Akan tetapi kemudian sebutan itu di perluas artinya.s ehingga meliputi mazhab-mazhabfiqh. Menurut al-baghdadi yang termasuk aqidah dan golongan ahlussunnah waljamaah, ialah:
·         Orang yang mengetahui benar- benar soal ketahui dan kenabian
·         Tidak mencampurkan bid’ah-bid’ah dengan golongan lain
·         Mengetahui jalan- jalan hadis dan membedakan antara yg benar dan salah dengan tidak tersangkut kepada bidah yg sesat.
·         Mereka yang mengetahui kebanyakan persoalan kesusastraan
·         Mereka yang mengetahui macam-macam qiraat quran dan tafsir
·         Ahli Zuhud dan golongan tasawuf yang giat beramaldan tidak banyakbicara.
·         Mereka yang bertempat di pos- pos kaum muslim untuk menjaga dan mempertahankan negri islam dan mazhab ahlussunnah

5.      UlasanTerhadapAhlussunnah
Sesuai dengan kedudukan aliran Asy’ariah sebagai aliran yang terbesar dan masih tetap di peluk sampai sekarang oleh sebagian besar kaum muslimin  Pertama-tama maksud berdirinya ahlussunnah adalah agar kaum muslimin dapat memahami aqidah-aqidahnya kembali kepada sahabat dan masa tabi’in. Ulama ahlusunnah juga membicarakan jauhar, aradh, jisim, zat dan sifat kebaikan dan keburukan menurut pertimbangan akal dan syara.
Ahlussunnah juga menggunakan ta’wil terhadap ayat-ayat Mutasyabihat seperti  al-juwaini dan  al-ghazali, suatu hal yang tidak pernah di kerjakan oleh sahabatdan tabi’in.

BAB X
ALIRAN MATUIDIAH

1.      Siapa Al-Maturidi
Nama pendiri aliran Maturidiah, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad, kelahiran Maturid, kurang lebih pada pertengahan abad ketiga Hijrah dan ia meninggal dunia di kota Samarkand pada tahun 333 H.
Ia mencari ilmu pada pertiga terakhir dan abad ketiga hijrah, di mana aliran Mu’tazilah sudah mulai mengalami kemundurannya, dan di antara gurunya ialah Nasr bin Yahya al-Balakhi (wafat 268 H). Pada masanya, negri tempat ia di besarkan menjadi arena perdebatan antara aliran fiqh hanafiah dengan fiqh syafiiyah, bahkan upacara-upacara kematian pun tidak terlepas dari perdebatan semacam itu, sebagaimana terjadi juga perdebatan antara para fuqaha dan ahli-ahli hadis di satu pihak dengan aliran Mu’tazilah di pihak lain soal-soal theology islam (ilmu kalam).
Menurut ulama-ulama hanafiah, hasil pemikiran al-maturidi dalam bidang aqiqah sama benar dengan pendapat-pendapat imam Abu Hanifah. Imam Abu Hanifah sebelum menceburkan dirinya dalam lapangan fiqh dan menjadi tokohnya, telah lama berkecimpung dalam lapangan aqiqah serta banyak pula mengadakan polemic dan perdebatan seperti yang di kehendaki oleh suasana zamannya, dan salah satu buah karyanya dalam lapangan aqiqah ialah bukunya yang berjudul al Fiqhul Akbar.


Dan perbandingan itu ternyata, bahwa pikiran-pikiran al-Maturidi sebenarnya berintikan pikiran-pikiran Abu Hanafiah dan merupakan penguraiannya yang lebih luas. Pertalian antara kedua tokoh tersebut di kuatkan oleh pengakuan al-Maturidi sendiri, bahwa ia mempelajari buku-buku Abu Hanafiah dengan suatu silsilah nama-nama yang di mulai dengan gurunya dan seterusnya sampai kepada pengarangya sendiri.
Kebanyakan ulama-ulama Maturidiah terdiri dari orang-orang pengikut aliran fiqh Hanafiah, seperti Fachruddin al-Bazdawi, at-Taftazani, an-Nasafi, Ibnul Hammam, dan lain-lainnya. Akan tetapi mereka tidak sekuat pengikut aliran Asy’ariah.

2.      Sistem Pemikirannya
Untuk mengetahui system pemikirannya al-Maturidi, kita tidak bisa meninggalkan pikiran-pikiran al-Asy’ari dan aliran Mu’tazilah, sebab ia tidak bisa terlepas dan suasana masanya. Baik al-Asy’ari maupun al-Maturidi kedua-duanya hidup semasa dan mempunyai tujuan yang sama, yaitu membendung dan melawan aliran Mu’tazilah negerinya, yaitu Samarkand dan Iran pada umumnya, sebagai cabang atau kelanjutan aliran Mu’tazilah Basrah dan yang mengulang-ulang pendapatnya.
Meskipun pendapat-pendapat al-Asy’ari dan al-Maturidi sering-sering berdekatan, karena persamaan lawan yang di hadapinya, namun perbedaan-perbedaannya masih selalu ada Perbedaan-perbedaan itu bisa kita dapati setelah memperbandingkan buku-buku Ilmu kalam menurut Asy’ariah dengan buku-buku aliran Maturidiah, seperti al-Aqidun Nasafiah karangan Najmuddin an-Nasafi.Berbeda dengan pendapat Syekh M. Abduh dan Ahmad Aniin, maka Syekh Abu Zahrah mengatakan bahwa perbedaan antara al-Asya’ari dan al-Maturidi sebenarnya lebih jauh lagi, baik dalam cara berpikir maupun dalam hasil-hasil pemikirannya, karena al-Maturidi memberikan kekuasaan yang luas kepada akal lebih dan pada yang  di berikan oleh al-Asy’ari untuk jelasnya, di bawah ini di sebutkan pendapat-pendapat al-Maturidi :
1.    Kewajiban mengetahui tuhan
Menurut al-Maturidi, akal bisa mengetahui kewajiban untuk mengetahui tuhan, seperti yang di perintahkan oleh tuhan dalam ayat-ayat Qur’an untuk menyelidiki alam, langit, dan bumi. Akan tetapi meskipun akal semata-mata sanggup mengetahui tuhan, namun ia tidak sanggup mengetahui dengan sendirinya hokum-hukum taklifi (perintah-perintah tuhan), dan pendapat terakhir ini berasal dari Abu Hanifah. Pendapat al-Maturidi tersebut mirip dengan pendirian aliran Mu’tazilah. Hanya perbedaanya ialah kalau aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa pengetahuan Tuhan itu di wajibkan oleh akal, maka menurut al-Maturidi, meskipun kewajiban mengetahui Tuhan dapat di ketahui akal, tetapi kewajiban itu sendiri datangnya dari tuhan.
2.    Kebaikan dan keburukan menurut akal
Al-Maturidi mengakui adanya keburukan obyektif dan akal bisa mengetahui kebaikan dan keburukan sebagian sesuatu perbuatan. Seolah-olah mereka membagi sesuatu perbuatan kepada tiga bagian, yaitu sebagian yang dapat di ketahui kebaikannya dengan akal semata-mata dan sebagian lagi yang tidak jelas kebaikan dan keburukannya bagi akal. Kebaikan dan keburukan bagian terakhir ini hanya bisa di ketahui dengan melalui Syara’. Pendapat Al-Maturidi tersebut tidak sesuai dengan pendapat al-Asy’ari yang mengatakan bahwa sesuatu tidak mempunyai kebaikan atau keburukan obyektif melainkan kebaikan itu ada karena adanya perintah Syara’ dan keburukan itu tergantung kepada tuhan . dengan demikian, ternyata bahwa pikiran-pikiran Al-Maturidi berada di tengah-tengah antara aliran Mu’tazilah dan aliran Asyariah.
3.    Hikmat dan tujuan perbuatan Tuhan
Menurut aliran Aay’ariah, segala perbuatan Tuhan tidak bisa di tanyakan mengapa, artinya bukan karena hikmah atau tujuan, sedang menurut aliran Mu’tazilah sebaliknya, karena mereka Tuhan tidak mungkin mengejakan sesuatu yang tidak ada gunaya.
Menurut aliran al-Maturidi, memang benar perbuatan Tuhan mengandung kebijaksanaan, baik dalam ciptaan-ciptaannya maupun dalam perintah.


BAB XI
ALIRAN SALAF

Aliran salaf terdiri dari  orang-orang Hanabiyah yang muncul pada abad keempat Hijrah denganmempertalikan dirinya dengan  pendapat-pendapat Imam  Ahmad bin Hanbal, yang  dipandang oleh mereka  telah menghidupkan dan mempertahankan pendirian  ulama  Salaf orang-orang Hanabilah menamakan diri mereka dengan sebutan “aliran Salaf” di karenakan pendapat ulama Salaf itulah yang menjadialas an berdirinya
Diantara golongan Hanabilah dan aliran Asy’ariah sering terjadi pertentangan fisik maupun mental. Hadirnya Ibnu Taimiah di Siria (661-728 H) menjadi kekuatan baru bagi golongan ini kemudian pada abad ke 12 aliran Salaf tersebut dihidupkan kembali oleh Syekh Muhammad Bin Abdil Wahab di Saudi Arabia, yang pendapatnya dikenal sebagai aliran Wahabiah.
1.      Ibnu Taimiah
Ahmad Bin Abdil Halim Bin Taimiah lahir di Harran tahun 661 H. ia mendapat gelar “Muhjis Sunnah” ( yaitu sebagai seorang pembangun atau penghidup Assunnah ). Meskipun pemerintahan pada masanya, yaitu golongan Banu Buwaihi mendukung aliran Syafli, dalam fiqh dan aliran Asy’ariah dalam hal kepercayaan, tapi tidak se menghalanginya untuk mendalami pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dalam kajian fiqh atau kepercayaan, sampai ia menjadi tokoh Hanabilah. Keterkenalannya manjadikan ia mendapatkan banyak masalah, karena keberaniannya mengemukakan pendapat yang berlawanan dengan pendapat orang pada waktu itu, sehingga ia berkali-kali ditangkap oleh para penguasa.
Penangkapan yang terakhir  terjadi karena  pendapatnya yang mengatakan bahwa ziarah ke kubur nabi-nabi dan orang-orang saleh tidak wajib. Karena pendapat tersebut ia dipenjarakan di sebuah benteng (qal’ah) di Damsyik dan di tempat itu pulalah ia menghembuskan  napasnya yang penghabisan  pada tahun 727 H.
Karangan-karangannya mencapai 300 buah. Yang diantaranya berisi tentang Tafsir, Fiqh, Jadal. Juga berisi tentang jawaban pertanyaan,  fatwa-fatwa dan serangan-serangan atas aliran-aliran dalam Islam, yaitu Tassawuf, Filsafat dan sebagainya.
2.      Sistem Pemikiran Salaf
Ibnu Taimiah membagi metode ulama-ulama Islam dalam lapangan aqidah menjadi empat yaitu :
a)      Aliran filsafat yang mengatakan bahwa Quran berisi dalil “khatabi” dan “iqnal” (dalil yang penenang dan pemuas hati, bukan pemuas pemikiran).
b)      Aliran Mu’tazilah terlebih dahulu memang dalil akal yang rasionil, sebelum mempelajari dalil-dalil Quran.
c)      Golongan ulama yang percaya kepada aqidah-aqidah dan dalil-dalil yang disebutkan oleh Qur’an.
d)     Golongan yang mempercayai aqidah dan dalil-dalilnya yang disebut dalam al-quran, tetapi mereka juga menggunakan dalil akal pikiran disamping dalil-dalil al-qur’an.

Menurut ibnu taimiah, motede aliran salaf berbeda sama sekali dengan metode keempat tersebut. Akal pikiran tidak mempunyai kekuasaan untuk mena’wilkan qur’an/menafsirkan ataupun menguraikannya,kecuali dalam batas-batas yang diizinkan oleh kata-kata dan dikuatkan pula hadis-hadis, kekuasaan akal pikiran sesudah itu tidak lain hanya membenarkan dan tunduk kepada nas, serta mendekatkannya kepada pikiran.
Sikap aliran salaf tersebut bukan sikap apatis, skeptis, dan pesimis, melainkan suatu kesadaran dan pengakuan akan adanya batas-batas kemampuan daya kerja akal manusia dan lapangannya dlam bidang metapisika dan alam gaib, apabila dilampauinya maka ia akan sesat.
3.      Aqidah aliran Salaf
Teori aqidah islam digolongkan menjadi satu persoalan saja, yaitu ‘keesaan (ketuhanan) yang mempunyai tiga segi,yaitu ’keesaan zat’ dan ‘sifat’, keeesaan penciptaan  dan keesaan ibadah (pengabdian din kepada tuhan).
a.       Keesaan dan sifat
Keesaan tuhan tidak ada yang menyerupai-Nya. Akan tetapi menurut Ibnu Taimiah, konotasi (kandungan perkataan ’keesaan’ (tauhid) dan perkataan-perkataan lainnya yang ada hubungannya dengan perkataan tersebut yaitu penyucian (Tanzih), penyerupam (Tasbih), dan penjisiman (Tajaim anthropomorph) dapat berbeda-beda menurut orang yang memakainya bagi tiap golongan yang mengartikannya.
Arti “pengesaan” dan “penyucian” bagi aliran Mu’tazilah ialah meniadakan semua sifat-sifat, dan anti “peneyrupaan” dan “penjisiman” ialah menetapkan sebagian sifat-sifat  itu, sehingga orang yang mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala atau Tuhan mempunyai sifat Kalam, dianggap telah menjisimkan Tuhan .
Menurut golongan filosof mengartikan  “pengesaan”  adalah apa yang pada Tuhan hanya sifat-sifat ma’ani seperti member rezqi, marah, kasih sayang dan sebagainya, sedang arti dari “Penyerupaan” dan “penjisiman” ialah menetapkan semua atau sebagai sifat-sifat itu.
Perbedaan para ulama tentang connotasi (kandungan arti)  tentang perkataan tersebut seharusnya tidak boleh menjadi alasan untuk menuduh orang lain menjadi kafir. Aliran Salaf tidak pernah mengkafirkan lawan-lawannya, melainkan hanya memandang meraka sesat, seperti golongan filosof, Mu’tazilah, dan golongan Tasawuf yang mempercayai persatuan dengan Tuhan atau peleburan pada zatnya (fana’).
Aliran Salaf menetapkan sifat-sifat , nama-nama perbuatan-perbuatan dan keadaan (ahwal) yang termuat dalam Qur’an dan Hadist yang juga biasa di sebut Asma’ul Husna. Jadi sifat-sifat tersebut dipercaya oleh aliran Salaf. Jadi tangan Tuhan tidak sama dengan tangan manusia. Dengan kata lain, aqidah aliran Salaf terletak diantara  “tathil” (peniadaan Tuhan) dan “tasybih” (penyenipaan Tuhan dengan makhluknya).
4.      Keesaa penciptaan
Ialah bahwa Tuhan mencptakan langit dan bumi, apa yang ada di dalamnya atau yang terletak di keduanya, tanpa sekutu dalam menciptakannya. Kelanjutan dan kepercayaan tersebut ialah ialah persoalan “Jabar dan Ikhtiar” dan “apakah perbuatan Tuhan terjadi karena untuk mencapai sesuatu tujuan tertentu atau tidak”.
5.      Keesaan Ibadah
Artinya seorang manusia tidak mengarahkan ibadahnya selain kepada tuhan, dan hal agama baru terwujud apabila dua hal berikut agama dipenuhi, yaitu :
a)      Hanya menyembah Tuhan semata-mata dan tidak mengakui ketuhanan selain TUhan.
b)      Kita menyembah Tuhan dengan cara yang telah ditentukan oleh Tuhan melalui rasul-rasul-Nya.
Kelanjutan dan kedua hal tersebut ialah
Larangan mengangkat manusia, hidup atau mati sebagai perantara kepada Tuhan. Ibnu taimiah mengakui bahwa ada manusia yang mempunyai keramat, tetapi hal ini  tidak berarti bahwa dia dapat terhindar dari kesalahan. Oleh karena itu orang-orang saleh meminta  kepada Tuhan agar di beri Istiqamah, bukan keramat. Kita tidak boleh meminta sesuatu kepada Nabi-nabi dan orang-orang saleh sesudah mereka wafat. Sebab yang berhak dimintai pertolongan hanyalah Zat yang sanggup mengadakan perubahan dan hal agama hanya dimiliki oleh Tuhan semata-mata.
a)    Permintaan tolong seorang makhluk kepada makhluk yang lain bagaikan permintaan tolong dan orang yang mau tenggelam kepada orang yang mau tenggelam pula.
b)   Larangan memberikan nazar kepada kuburan atau penghuni kuburan atau penjaga kuburan. Dalam hal ini ibnu taimiah mengatakan perbuatan tersebut adalah haram, dan ia menjadi musyrik yang harus di hokum mati.
c)    Larangan ziarah ke kubur-kubur orang saleh dan Nabi-nabi. Maksud dalam larangan ini apabila seseorang dengan maksud minta berkah atau mendekatkan diri dengan Allah.  Sedang kalau mencari suri tauladan dan nasehat, maka di perbolehkan, bahkan dianjurkan.
d)   Nabi melarang kuburnya dijadikan mesjid, supaya jangan menjadi tempat ziarah. Nabi pernah berkata : “Tuhan mengutuki orang-orang  Yahudi dan Masehi, karena mereka menjadikan kubur nabi-nabinya sebagai masjid.
e)    Sepeninggal Nabi, sahabat-sahabatnya apabila hendak memberi salam dan berdoa, mereka menghadap kiblat.
Demikianlah pendirian Ibnu Taimiah tentang ziarah kubur. Menurut Syekh Abu Zahrah, pendirian tersebut berlawanan dengan pendirian kebanyakan. Menurut Syekh Abu Zahrah sendiri bahwa Ziarah ke kubur nabi sangat baik. Minta berkah  sama sekali bukan berarti ibadah ataupun mendekatinya, melainkan berarti mengenangkan jasa-jasa Nabi serta mengambil petunjuk dan teladan. Siapa orang yang tidak akan terharu ketika berhadapan dengan kubur Nabi, di mana hati menjadi khusyuk dan akal pikiran pun akan tunduk. Pada saat semacam itulah sesuatu doa bisa mencapai keberkatan.

BAB XII
ALIRAN WAHABIAH

Nama aliran “Wahabiyah” dipertaliatkan dengan nama pendirinya, yaitu Muhammad bin Abdil Wahab (1703-1787 M atau 1115-1201 H) dan diberikan oleh lawan-lawan tersebut  semasa hidup pendirinya, yang kemudian dipakai juga oleh penulis-penulis Eropa. Nama yang dipakai oleh golongan wahabi sendiri ialah “Golongan Mutawahhidin” (Unitarians) dan metodenya mengikuti jejak Nabi Muhammad Saw. Mereka menganggap dirinya golongan Ahlusunnah, yang mengikuti pikiran-pikiran Imam Ahmad bin Hambal yang ditafsirkan oleh Ibnu Taimiah.
1.      Riwayat Hidup Pendirinya
Muhammada bin Abdil Wahab dilahirkan di Ujainah, yaitu sebuah dusun di Nadjed, daerah Saudi Arabia sebelah timur. Salah satu tempat belajarnya ialah kota Madinah, pada Sulaiman al-Kurdi dan Muhammad al-Khayyat as-Sindi. Sebagian hidupnya digunakan untuk berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lain. Empat tahun di Basrah, lima tahun di Baghdad, satu tahun di Kurdestan, dua tahun di Hamazan, kemudian pergi ke Isfahan. Setelah itu pergi ke Qumm dan Kairo, sebagai penganjur aliran ahmad bin Hanbal.
Selama beberapa tahun melakukan perlawatan, kemudian Muhammad bin Abdil Wahab kembali ke kampong kelahirannya, selama beberapa bulan beliau merenung an melakukan orientasi dan mengajarkan paham-pahamnya. Seperti yang dicantumkan dalam bukunya “At-Tauhid” tebalnya 88 halaman dan cetakan Mekkah. Ajaran yang dibawanya menimbulkan banyak keributan, lalu Muhammad bin Abdil Wahab diusir dan pindah bersama keluarganya ke Dar’iah, sebuah dusun tempat tinggal Muhammad bin Sa’ud (Nenek Raja Faisal yang berkuasa sekarang).

2.      Aqidah Aliran Wahabiah dan Pertaliannya dengan Aliran Salaf
Aliran Wahabiah sebenarnya kelanjutan dari Aliran Salaf, yang bepangkal kepada pikiran-pikiran Ahmad bin Hanbal lalu direkonstruksikan oleh Ibnu tairniah.
Aqidah-aqidah yang pokok dan Aliran Wahabiah pada hakekanya tidak berbeda dengan apa yang telah dikemukakan oleh Ibnu Taimiah. Aqidah-aqidahnya dapat disimpulkan dalam dua bidang, yaitu bidang ‘Tauhid” atau Pengesaan dan bidang “Bidat”
Dan dalam bidang Ketauhidan, mereka berpendirian sebagai berikut:
a.       Penyembahan kepada selain Tuhan adalah salah. Dan siapa yang berbuat demikian ia dibunuh.
b.      Orang yang mencari ampunan Tuhan dengan mengunjungi kuburan orang-orang saleh, termasu golongan musyrikin.
c.       Termasuk dalam perbuatan musyrik memberikan pengantan kata dalam sholat terhadap nama Nabi-nabi, Wali, ataupun Malaikat (seperti Sayidina Muhammad)
d.      Termasuk kufur memberikan suatu ilmu yang tidak didasarkan atas Qur’an dan Sunnah, atau ilmu yang tidak bersumber kepada akal pikiran semata.
e.       Termasuk kufur dan lihad juga mengingkari “Qadar” dalam semua perbuatan dan penafsiran Qur’an dengan jalan Ta’wil.
f.       Dilarang memakai buah tasbih dan dalam mengucapkan nama Tuhan dan do’a-do’a Wirid cukup dengan menghitung keratajari.
g.      Sumber syariat islam dalam oal halal dan haram hany qur’an semata-mta dan sumber lain sesudahnya ialah Sunnah Rasul. Perkataan ulama mutakallimin dan fuqaha tentang halal dan haram tidak menjadi pegangan, selama tidak didasarkan atas kedua sumber tersebut.
h.      Pintu ijtihad tetap terbuka dan siapapun juga boleh melakukan ijtihad, asal sudah memenuhi syarat-syaratnya.
Hal-hal yang dipandang bid’ah oleh mereka dan harus diberantas antara lain:
a.       Berkumpul bersama-sama dalam maulidan.
b.      Orang wanita mengiringi jenazah.
c.       Mengadakan khalakah (pertemuan)zikir.
d.      Merampas buku-buku yang berisi tasawuf, seperti Dalailul Khairat, dan sebagainya.


Kebiasaan sehari-hari juga dikatagorikan dalam bid’ah seperti merokok, minum kopi, mamakai pakaian sutera bagi laki-laki, bergambar (foto), mencelip (memacari) jempol, memakai cincin dan lain-lainnya yang termasuk dalam soal-soal yang kecil dan yang tidak mengandung atau mendatangkan paham keberhalaan.

3.      Cara Penyajian Aqidah-aqidah Wahabiah
Kalau Ibnu Taimiah sebagai pembangun aliran Salaf, menanamkan paham-pahamnya dengan cara menulis buku-buku dan mengadakan pertukaran pikiran serta perdebatan, maka Aliran Wahabiah dalam menyiarkan ajaran-ajarannya memakai kekerasan dan memandang orang-orang yang tidak mengikuti ajarannya sebagai bid’ah yang harus diperangi, sesuai dengan prinsip “Amar Ma’ruf Nahi Munkar”.
Muhammad bin Abdil Wahab tidak sendiri dalam mengajarkan ajaranya, Ia bekerjasama dengan pangeran Muhammad bin Saud ( wafat pada tahun 1765 M) dan menggantikan ayahnya pada tahun 1724 M. sejak saat itu kekuatan senjatalah yang dipakai oleh Aliran Wahabiah dalam meyiarkan ajarannya. Muhammad bin Saud menyatakan bahwa tindakannya tersebut dimaksudkan untuk menegakkan Sunnah dan mematikan Bid’ah.
Muhammad bin Abdih Wahab merasakan sendiri bahwa khurafat-khurafat yang menimpa kaum muslimin di negrinya, bukan saja terbatas pada pemujaan kuburan, sebagai tempat orang-orang shaleh dan memberikan nazar karenanya, tetapi menjalar kepada pemujaan benda-benda mati. Karena itu ia menyerukan untuk tidak menziarahi kuburan, kecuali untuk mencari tauladan, bukan untuk mencari syafaat dan tasawuflah.
Akan tetapi gerakan Aliran Wahabiah yang bercorak agama dan bertulang punggungkan kekuatan Raja Muhammad bin saud, dipandang oleh penguasa (khalifah) Usmaniah yang menguasai negeri Arabia pada waktu itu sebagai perlawanan dan pemberontakan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu penguasa tersebut mengirimkan tentaranya ke negeri Arabia untuk menumpas gerakan tersebut.

4.      Kritik terhadap Aliran Wahabiah
Pertama-tama, Aliran wahabiah tidak mengenal peraasan kaum muslimin, sebab kaum muslimin dimana pun juga berbangga dengan kubur nabinya dan sahabat-sahabatnya. Kesemuanya cukup menimbulkan kebencian kaum muslimin terhadap Aliran Wahabiah, dimana keadaan tersebut kemudian disalahgunakan oleh penulis-penulis barat, untuk lebih mempertajam rasa permusuhan di kalangan kaum muslimin dan mempertalikan beberapa perbuatan, kepada golongan wahabiyah yang sebenarnya mereka sendiri tidak memperbuat. Kritik yang lain bahwa Aliran Wahabiah melalaikan kemajuan mental dan pikiran di negeri mereka sendiri serta tidak berusaha mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan zaman, sedang ajaran-ajaran islam yang sebenarnya tidak menghalang-halangi bahkan selalu menganjurkan.
Kekaguman terhadap Muhammad bin Abdi Wahab tidak hanya datang dari kaum muslimin itu sendiri, bahkan seorang ahli ketimuran, yaitu Dozy (Belanda, Wafat 1883) mengatakan “Martin Luther, pembaru dan golongan Protestant, telah menyatakan pemberontakannya terhadap bid’ah yang menyelinap dalam agama Masehi. Muhammad bin Abdil juga menyatakan pemberontakan yang sama terhadap bid’ah yang masuk ke dalam islam”.Bagaimanapun juga, Aliran Wahabiah ermasuk golongan Salaf, sedang golongan Salaf termasuk Ahlusunnah dan Ahmad bin Hanbal. Karena itu, Aliran Wahabiah termasuk Aliran AhlusunnahDi Punjab (India Utara)Sayid Ahmad menciptakan Negara Wahabiah dan memaklumkan jihad terhadap orang-orang yang tidak mempercayai dakwahnya serta masuk dibarisannya. Ia haji pada tahun 1822-1823 M. juga di Bengal penyiaran Islam pada abad yang sama mengalami kepesatan, karena pengaruh golongan Wahabiah.
5.      Pengaruh Aliran Wahabiah
a.       India
Aliran Wahabiah di negri India, dibawa oleh Imam As-Sanusi.
b.      Aljazair
Aliran Wahabiah di negri ini, dibawa oleh Imam Asnusi.
c.       Mesir
Syekh M. Abduh menyiarkan Aliran Wahaiah, meskipun ia tidak mengikatkan diri kepadanya semata-mata, karena ia menggali langsung pokok-pokok mazhab Salaf, sejak masa Rasul sampai kepada Ibnu Taimiah dan sampai kepada Muhammad bin Abdil Wahab. Dasar-dasar pahamnya sama dengan dasar-dasar yang dipakai oleh Aliran wahabiah.
d.      Sudan
Orang yang membawa paham Wahabiah ke Negara Agama ialah Usman Danfuju, terkenal sebagai seorang pembaru, penganjur dan pejuang. Ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan haji pada waktu aliran Wahabiah sedang mencapai puncak kepesatannya. Setelah pulang kenegrinya, jiwanya penuh semangat untuk memperbaiki agama dan da’wah Islam.
e.       Indonesia
Ajaran-ajaran Wahabiah mula-mula dibawa ke Indonesia oleh tiga orang dan Sumatera Barat yang pergi haji pada tahun 1803 M. ketika mereka berkunjung ke Madinah, mereka tertarik sekali dengan Gerakan Wahabiah. Setelah pulang ke Indonesia, ajaran-ajaran Aliran Wahabiah diperkenalkan kepada penduduknya. Namun pada akhirnya gerakan mereka menjadi suatu peperangan yang terkenal dalam sejarah Indonesia sebagai “Perang Padri”.
Pada masa-masa sesudahnya, pengaruh ajaran Wahabiah di Indonesia lebih meluas lagi, baik melalui orang-orang yang hajiataupun melalui buku-buku Syekh Muhammad abduh dari Mesir.

Riwayat Hidup Syekh Muhammad Abduh
Syekh Muhammad Abduh termasuk keluarga petani sedang. Ayahnya bernama “Abduh Chairullah”, penduduk kampong “Nasr” daerah “Subrakhit” dan propinsi “Buhairah” (Mesir bawah). Karena tindasan dari penguasa negrinya, Abdul Chairullah meninggalkan kampong halamannya, untuk menuju profinsi “Gharbiah” dan disana beliau kawin dengan “junainah” seorang wanita terpandang di kalangan familinya, dari perkawinan Abduh Chairullah dan junainah, lahirlah seorang anak laki-laki pada tahun 1849 dan diberi nama Muhammad (abduh)
Setelah 15 tahun tinggal di Gharbiah, Abdul Khairullah beserta keluarganya pulang ke kampung halamannya yang semula, dimana kemudian kawin lagi dengan seorang wanita lain dan memiliki seorang anak. Setelah selesai menghafal Al-Qur’an, maka pada tahun 1862 M, ia dikirim ke kota Tanta, untuk belajar ilmu-ilmu Isla disana, tetapi pelajarannya tidak berlangsung lama, karena anjuran pamannya ia mau kembali ke Tanta pada tahun 1865 M, dan pada tahun berikutnya ia pergi ke Kairo dan terus menuju Mesjid Al-Azhar, untuk hidup sebagai seorang sufi. Akan tetapikemudian kehidupan agama ditinggalkannya karena anjuran pamannya itu pula. Pada tahun 1872 M, Syekh Muhammad Abduh berhubungan dengan Jamaluddin Al-Afghani, untuk menjadi muridnya yang setia. Karena pengaruh gurunya, ia terjun ke lapangan persurat-kabaran pada tahun 1876 M. setelah menamatkan pelajaran di Al-Azhar, dengan mendapatkan ijazah “Alimiyyah” ia diangkat menjadi guru di Darul “Ulum. Akan tetapi karena sebab-sebab yang tidak diketahuinya, ia dibebaskan dari jabatannya itu dan dikirim ke kampong halamannya,sedang Jamaluddin sendiri diusir dari Mesir.
Pada tahun 1880 M, Muhammad Abduh dipangil oleh cabinet partai Liberal (bebas-ahrar) untuk diserahi jabatan kepala redaksi surat kabar “al-Waqai’ul-Misriyah” dank arena pimpinannyayang baik dalam surat kabar tersebut ia menjadi buah tutur orang banyak.
Meskipun tujuan Jamaluddin Al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh sama yaitu pembaharuan masyarakat Islam, namun cara untuk mencapai tujuan itu berbeda. Kalau yang pertama menghendaki jalan revolusi, maka yang kedua memandang bahwa revolusi dalam lapangan polotik tidak aka nada artinya, sebelum ada perubahan mental secara berangsur-angsur.
Pemberontakan Irabi Pasya di mesir telah mengakhiri kegiatan syekh Muhammad Abduh, karena paa tahun 1882 M, ia diusir dari Mesir (di-externir). Oleh karena itu, ia pertama-tama pergi ke Beirut kemudian pada awal tahun 1884 M, ia pergi ke Perancis dan disana ia bertemu lagi dengan Jamaluddin Al-Afghani. Kedua tokoh agama kemudian mendirikan suatu perhimpunan yang kuat) dan menerbitkan majalah bulanan dengan nama yang sama.
Tujuan perhimpunan agama ialah membersihkan Mesir dan pendudukan tentara asing dan mengingatkan bangsa-bangsatimur akan bahaya Eropa, terutama inggris. Meskipun majalah ini hanya berusia delapan bulan saja, namun besar pengaruhnya dalam membngunkan semangat kebangunan di dunia timur islam.

BAB XIII
FIRQAH UMAT ISLAM ANTARA AHL AL-BIDA’ DAN AHL AL-SUNNAH WAL AL-JAMA’AH

1.      Munculnya Firqah Besar dalam Islam

Asal mula kemunculan firqah (kaum, aliran, kelompok, golongan, atau paham) dilatarbelakangi oleh perbedaan dan perselisihan pandangan tentang masalah politik dan teologi. Karena perbedaan dan perselisihan tersebut pandangan tersebut, satu firqah dengan mudah mengkufurkan firqah lainnya.
Terkait dengan istilah firqah, tampaknya penting untuk dicatat tentang asal mula term ahl al-sunnah wa al-jamah. Hal ini menarik karena harus diakui bahwa paham ahl al-sunnah wa al-jam’ah telah dianut oleh mayoriatas umat islam di dunia pada umumnya dan di indonesia pada khususnya. Menurut peneliti istilah ahl al-sunnah wa al-jama’ah memang tidak dikenal pada masa Nabi Muhammad saw, para sahabat, dan pada masa Bani Umayah (41-133/61 1-750) dan pada  masa Bani Abbasiyah (750-1258), khususnya pada  masa khalifah al-ma’mun (198-218/813-833) karena pada masa ini telah berkembang firqah mu’tazilah yang tidak terlalu mementingkan sunnah Nabi karena keraguannya terhadap orisinalitas sunnah. Oleh karena itu Mu’tazilah pada saat itu merupakan kelompok minoritas, sebab mu’tazilah ditentang oleh mayoritas umat islam saat yang menanamkan dirinya ahl al-sunnah wa al-jama’ah.
Ahl al-sunnah wa al-jama’ah sudah muncul sejak abad ke-9 M, maka diduga nama ahl al-sunnah wa al-jama’ah lebih muncul dalam kitab Maqalat al-Islamiyyin karya al-Asy’ari dibandingkan dalam kitab Syath al-Fiqh al-Akbar karya Abu al-Layts al-Samarqandi. Kemudian setelah timbulnya paham Asy’ariyah sebutan Ahl al-sunnah wa al-jama’ah semakin dipakai. Hanya saja berbeda-beda seperti Ahl al-Sunnah wa al-jama’ah atau Ahl al-sunnah wa Ashhab al-Hadits, Ahl al-sunnah wa alstiqamah, dan Ahl al-Haqq wa al-sunnah.


Ibn Taymiyah menyatakan bahwa istilah suni yang identik dengan Ahl al-hadits telah digunakan jauh sebelum masa al-Asy’ari dan mazhab Ahl al-hadits adalah mazhab lama dan telah dikenal sejak sebelum munculnya empat mazhab fikih. Mazhab ini merupakan mazhab para sahabat Nabi yang mengambil ajaran agama mereka langsung dari Nabi dan para pengikut mereka (tabi’in).
Para ahli memandang bahwa ciri utama firqah itu adalah moderat dan berada di tengah-tengah, antara rasionalis-mu’aththilah yang diwakili oleh Mu’tazilah dan tradisionalis-tekstualis-musyabbihah yang diwakili oleh hanabilah (pengikut Ahmad ibn Hanbal). Namun, kajian sejarah yang mendalam menunjukkan bahwa pendapat diatas ternyata tidak sepenuhnya benar, sebab tuduhan tasbih atau musyabbihah itu  ternyata digunakan oleh mu’tazilah untuk menyerang pendapat Imam Hanbali, Ishaq ibn Rahawayh dan Yahya ibn Ma’in. Pada hal ibn hanbal dan kawan-kawannya itu sebenarnya tidak mengakui tasybih dalam Al-qur’an.
Kembali ke soal munculnya berbagai firqah induk yang kemudian berkembang menjadi beberapa firqah kecil, nama-nama firqah ada yang dinisabahkan kepada nama-nama tokohnya dan ada juga yang dikaitkan dengan doktrin-doktrin pemikirannya. Karena banyaknya firqah tersebut, para ulama teologi masa lalu berbeda-beda dalam menentukan jumlahnya, baik jumlah firqah induk maupun firqah cabang.

0 comments

Post a Comment