BAB I
Pendahuluan
Alquran adalah kitab suci kaum Muslim yang diyakini berisi wahyu- yang otentik dari Allah. Doktrin ini menempatkan kitab suci ini sebagai sumber utama ajaran Islam dan menjadi pedoman hidup abadi dan universal. Abadi berarti terus berlaku sampai akhir zaman, sedangkan universal syari’atnya berlaku untuk seluruh dunia tanpa memandang perbedaan struktur etnis dan geografis. Dengan doktrin ini diyakini bahwa kandungan-kandungannya baik yang berkenaan dengan akidah, moral, termasuk masalah hukum adalah berlaku sepanjang masa. Hanya saja, dalam menjabarkan arti abadi dan universal itu menjadi bahan diskusi para ulama karena adanya perbedaan masalah yang mereka tekankan. Sebagian ulama melihat bahwa faktor kesucian Al-Qur’an yang paling menonjol, sedangkan yang lainnya melihat faktor kelanggengan Al-Qur’an dalam menjawab setiap tuntutan situasi dan kondisi.
Di antara masalah rumit yang sudah lama menjadi bahan perbincangan mereka adalah nasikh dan mansukh. Konsep nasikh mansukh sampai saat ini masih menjadi polemik yang berkepanjangan. Pertanyaan pokoknya adalah apakah ada nasikh mansukh dalam Alquran? Persoalan ini bernuansa ikhtilaf (baca: kontradiksi) di kalangan ulama. Sebagian ulama menolak konsep nasakh,
namun sebagian mendukung konsep nasakh tersebut, bahkan yang terbanyak dari mereka berpendapat dan berkeyakinan bahwa tidak semua ayat Alquran yang berkenaan dengan hukum itu masih berlaku, sebab di antara ayat-ayat tersebut sudah ada yang dinasakh.
namun sebagian mendukung konsep nasakh tersebut, bahkan yang terbanyak dari mereka berpendapat dan berkeyakinan bahwa tidak semua ayat Alquran yang berkenaan dengan hukum itu masih berlaku, sebab di antara ayat-ayat tersebut sudah ada yang dinasakh.
Maka dirasa sangatlah perlu pembahasan yang berkaitan dengan nasikh dan mansukh yang akan kami coba paparkan dalam makalah ini. Semoga dapat memberi wawasan pengetahuan khususnya pada kami penulis dan umummnya pada para pembaca semuanya.
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian
An-naskh merupakan masdar dari nasakaha, yang secara harfiah berarti menghapus, memindahkan, mengganti, atau mengubah. Dari kata nasakha terbentuk kata an-nasikh dan al-mansukh. Yang pertama isim fa’il dan yang kedua isim maf’ul dari nasakha. Secara etimologi kata an-nasikh berarti menghapus, yang mengganti atau yang mengubah.[1]
Nasikh menurut bahasa berarti sesuatu yang menghapuskan, menghilangkan atau yang memindahkan atau yang mengutip/ menyalin serta mengubah dan mengganti. Jadi, hampir sama dengan pengertian nasakh. Bedanya nasakh adalah kata masdar sedangkan nasikh ism fa’il, sehingga berarti pelakunya. Sedangkan pengertian nasikh menurut istilah ada dua macam :
1. Nasikh ialah hukum syara’ atau dalil syara’ yang menghapuskan dalil syara’ yang terdahulu dan menggantinya dengan ketentuan hukum baru yang dibawahnya.
2. Nasikh itu ialah Allah SWT. Artinya bahwa sebenarnya yang menghapus dan menggantikan hukum- hukum syara’ itu pada hakikatnya ialah Allah SWT, tidak ada yang lain.[2]
Nasikh-Mansukh mensyaratkan ; 1), Hukum yang di-mansukh adalah hukum syara’. 2), Dalil penghapusan hukum tersebut adalah hukum syara’ yang datang lebih kemudian, yang hukumnya mansukh. 3), Hukum yang mansukh, hukumnya tidak terikat atau dibatasi oleh waktu tertentu.
B. Wacana Ulama Tentang Ada Tidaknya Nasikh Mansukh
Diantara para mujtahidin, seperti al Imam Asy Syafi’i, Muhammad Husain al- taba’taba’i , dan juga para mufassirin bahkan jumhurnya berpendapat bahwa terjadinya nasakh sangat mungkin, Mengingat al Qur’an diturunkan dalam rentang masa yang panjang dengan ragam situasi yang berbeda- beda. Ketentuan hukum ayat mansukhah yang bersifat sementara dan terbatas, melalui proses nasakh dinyatakan berakhir keberlakuannya sejalan dengan tuntutan kemaslahatan.[3]
Sedangkan diantara ahli yang membantah keras adanya ayat- ayat mansukh dalam al Qur’an ialah Abu Muslim Al Asfahany. Pendapat beliau dikuatkan di masa- masa akhir oleh beberapa ahli ilmu yang terkenal. Diantaranya, Al Ustadzul Imam Asy Syaikh Muhammad Abduh, dan mufassir besar al fakhrur razy. Dalam hal ini Abu Muslim Al asfahany berkata : Jika dihukum ada dalam al Qur’an ayat yang telah dimansukhkan berarti membatalkan sebagian isinya. Membatalkan itu berarti menetapkan bahwa di dalam al Qur’an ada yang batal ( yang salah).[4] Padahal Allah berfirman menerangkan sifat Al Qur’an yang Artinya :” Tiada datang kepadanya ( al Qur’an) kebathalan, baik di muka nya, maupun di belakangnya”. ( Q.S.Fushshilat : 42).
Adapun sebagian alasan para tokoh ini menolak adanya nasikh dan mansukh adalah.[5]
1. Sekiranya dalam al-quran ada naskh maka berarti ada kesalahan atau kebatalan, sedangkan dinyatakan dalam al-quran tidak ada kebathalan.
2. Kata “Ayat” yang dijadikan dalil mempunyai beberapa konotasi, bukan hanya berarti al-quran saja namun dapat berarti mukjizat, ataupun kitab sebelum al-quran.
3. Tidak adanya penegasan dari nabi tentang ada atau tidaknya naskh. Sekiranya ada tentu nai sebgai pemegang otoritas utama dari al-quran menjelaskan dengan tegas,
Masing-masing pendapat di atas memiliki sejumlah argumentasi guna memperkuat pendiriannya, baik itu berdasarkan dalil aqli atau daya nalar dan terutama dalil naqli atau periwayatan melalui penafsiran masing-masing terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dalil naqli atau tepatnya ayat al-Qur’an yang ditafsirkan secara kontroversial oleh mereka ialah kedua ayat di bawah ini:
Artinya: “Apa saja ayat yang kami nasakh-kan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” (al-Baqarah : 106).
Artinya: “Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: ‘sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-ada saja’. Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui” (al-Nahl : 101).
Para pendukung nasikh-mansukh internal al-Qur’an menafsirkan kata “ayatin” dan “ayatan” dalam kedua ayat di atas dengan pengertian ayat al-Qur’an, sedangkan para penentang nasikh-mansukh sesama al-Qur’an menafsirkannya dengan mukjizat atau ayat yang terdapat dalam kitab Allah terdahulu yakni Taurat dan Injil. Kalangan pendukung nasikh-mansukh internal al-Qur’an memperkuat penafsirannya dengan berdasarkan sebab turunnya ayat, sementara lawannya lebih mengacu kepada korelasi ayat, terutama korelasi ayat 106 surah al-Baqarah dengan ayat yang sebelumnya yakni ayat 105.
C. Macam-Macam Nasikh serta Contohnya
1. Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap
Inilah jenis nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i dihapuskan, tidak diamalkan, namun lafazhnya tetap.
Hikmah naskh jenis ini adalah tetapnya pahala membaca ayat tersebut dan mengingatkan umat tentang hikmah naskh, terlebih dalam hukum yang diringankan dan dimudahkan.
Contohnya firman Allah: "Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti." (QS Al Anfal: 65).
Ayat ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang menghadapi 200 orang-orang kafir. Dan bersabarnya 100 umat Islam berperang menghadapi 1.000 orang-orang kafir.
Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya: "Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS Al Anfal: 66).
Abdullah bin Abbas berkata, "Ketika turun (firman Allah): “Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.” (QS Al-Anfal: 65), hal itu berat atas umat Islam, yaitu ketika diwajibkan atas mereka, bahwa satu orang tidak boleh lari menghadapi 10 (musuh). Kemudian datanglah keringanan, Allah berfirman:
“Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang.” (QS Al-Anfal: 66). Ketika Allah telah meringankan dari mereka jumlah (musuh yang wajib dihadapi), kesabaran pun berkurang seukuran apa yang Allah telah meringankan dari mereka.” (HR Bukhari).
Inilah contoh hukum yang mansukh di dalam Al-Qur’an. Penjelasan mansukhnya hukum dalam ayat 65 surat Al-Anfal di atas, selain dari Ibnu Abbas, juga diriwayatkan dari Mujahid, Atho’, ‘Ikrimah, Hasan Al-Bashri, Zaid bin Aslam, ‘Atho Al-Khurosani, Adh-Dhohhak, dan lainnya. Orang yang menolak adanya mansukh dalam Al-Qur’an telah menyelisihi penafsiran mereka.
Al-Aamidi menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh (penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang menyendiri dari kalangan Muktazilah.
Hikmah naskh jenis ini adalah agar kadar ketaatan umat kepada Allah menjadi nampak, yaitu di dalam bersegera melakukan ketaatan dari sumber yang zhanni rojih (persangkaan kuat), yaitu sebagian dari As-Sunnah, bukan dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu Al-Qur’an. Sebagaimana Nabi Ibrahim AS bersegera akan melaksanakan penyembelihan terhadap anaknya, Nabi Ismail, dengan sumber mimpi. Sedangkan mimpi adalah tingkatan terendah jalan wahyu kepada para nabi.
Selain itu, di antara hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Ia berkata, “Hikmah naskh lafazh tanpa (naskh) hukumnya adalah untuk menguji umat terhadap amalan yang tidak mereka dapati di dalam Al-Qur’an, dan mewujudkan keimanan mereka dengan apa yang Allah turunkan. Berbeda dengan orang-orang Yahudi yang berusaha menutupi nash rajam di dalam Taurat.”
Contoh jenis naskh ini adalah ayat rajam. Umar bin Al-Khathab berkata, "Sesungguhnya aku khawatir, zaman akan panjang terhadap manusia sehingga seseorang akan berkata: “Kita tidak mendapati rajm di dalam kitab Allah”, sehingga mereka menjadi sesat dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Ingatlah, sesungguhnya rajam adalah haq atas orang yang berzina dan dia telah menikah, jika bukti telah tegak, atau ada kehamilan, atau ada pengakuan.” Sufyan berkata, “Demikianlah yang aku ingat. Ingatlah, Rasulullah SAW telah melakukan rajam, dan kita telah melakukan rajam setelah beliau.” (HR Bukhari)
Adapun lafazh ayat rajam, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi; "Laki-laki yang tua (maksudnya yang sudah menikah) dan wanita yang tua (maksudnya yang sudah menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang mengandung pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana."
3. Nash Yang Mansukh Hukumnya dan Lafazhny
Contoh, ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan. Aisyah berkata, "Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali penyusuan yang diketahui, mengharamkan,” kemudian itu dinaskh (dihapuskan) dengan “Lima kali penyusuan yang diketahui.” Kemudian Rasulullah SAW wafat dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an." (HR Muslim).
Kedua, macam-macam naskh dilihat dari nash yang nasikh (menghapus)–secara ringkas—ada empat bagian;[8]
1. Al-Qur’an Dimansukh dengan Al-Qur’an
Jenis naskh ini disepakati adanya oleh para ulama, ada pun orang yang beranggapan tidak ada ayat mansukh di dalam Al-Qur’an, maka perkataannya tidak dianggap. Contohnya adalah ayat 65, yang mansukh oleh ayat 66 dari surat Al-Anfal.
Contoh lain firman Allah SWT: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS Al-Mujadilah: 12)
Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum berbisik-bisik dengan Rasulullah. Kemudian ayat ini dimansukh ayat berikutnya yang menghapuskan kewajiban tersebut. "Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul. Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS Al-Mujadilah: 13)
2. Al-Qur’an Dimansukh dengan As-Sunnah.
a). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Mutawatir
Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau menyatakan, “Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus) kecuali oleh Al-Qur’an yang datang setelahnya…” Namun Syaekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata, “(Berdasarkan) penelitian, boleh dan terjadi naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Mutawatir, contohnya: dihapusnya ayat 5 kali penyusuan dengan Sunnah Mutawatir, dihapusnya surat Al-Khulu’ dan Al-Hafd dengan Sunnah Mutawatir. Dan banyak contoh lainnya.
Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa beliau menyatakan, “Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus) kecuali oleh Al-Qur’an yang datang setelahnya…” Namun Syaekh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata, “(Berdasarkan) penelitian, boleh dan terjadi naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Mutawatir, contohnya: dihapusnya ayat 5 kali penyusuan dengan Sunnah Mutawatir, dihapusnya surat Al-Khulu’ dan Al-Hafd dengan Sunnah Mutawatir. Dan banyak contoh lainnya.
b). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad
Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih dan terjadi contohnya firman Allah: "Katakanlah: 'Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi—karena sesungguhnya semua itu kotor –atau binatang disembelih atas nama selain Allah." (QS Al An’am: 145)
Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan—pada saat ayat ini diturunkan—hanyalah empat jenis di atas. Ini berarti, pada saat itu, daging keledai jinak boleh dimakan, berdasarkan ayat ini. Kemudian kebolehan ini dihapuskan hukumnya oleh hadits-hadits shahih yang datang kemudian yang mengharamkan daging keledai jinak. Karena ayat di atas termasuk surat Al-An’am, yang merupakan surat Makiyyah, yang turun sebelum hijrah, dengan kesepakatan ulama. Adapun pengharaman daging keledai jinak dengan Sunnah terjadi setelah itu di Khaibar.
3. As-Sunnah Dimansukh dengan Al-Qur’an
Contoh jenis ini adalah syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis, yang ini berdasarkan Sunnah, dihapuskan dengan firman Allah SWT: "Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya." (QS Al-Baqarah: 144)
4. As-Sunnah Dimansukh dengan As-Sunnah
Contoh, sabda Nabi SAW, "Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang hendaklah kamu berziarah (kubur)." (HR Muslim)
D. Manfaat dan Hikmah Nasikh dan mansukh
Pengetahuan tentang Nasikh dan Mansukh mempunyai fungsi dan manfaat besar bagi para ahli ilmu, terutama Fuqoha, Mufasir dan ahli usul, agar pengetahuan tentang hukum tidak menjadi kacau dan kabur. Oleh sebab itu, terdapat banyak asar (perkataan sahabat dan atau tabi’in) yang mendorong agar mengetahui masalah ini. Diriwayatkan, Ali pada suatu hari melewati seorang hakim lalu bertanya: “Apakah kamu mengetahui yang Nasikh dari yang mansukh?” Tidak, “Jawab hakim itu”. Maka Ali berkata: “Celakalah kamu dan mencelakakan orang lain”.Dari Ibn Abbas, bahwa ia berkata tentang firman Allah, Dan barang siapa yang dianugrahi al hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi karunia yang banyak. (al-Baqoroh:269). Yang dimaksud ialah nasikh mansukhnya, muhkam dan mutasabihnya, muqaddam dan Mu’akharnya, serta halal dan haramnya.[9]
Adanya nasikh-mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat turunnya al-Qur’an itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Turunnya Kitab Suci al-Qur’an tidak terjadi sekaligus, tapi berangsur-angsur dalam waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu Qur’an sendiri menjawab, pentahapan itu untuk pemantapan, khususnya di bidang hukum. Dalam hal ini Syekh al-Qasimi berkata, sesungguhnya al-Khalik Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dalam proses tadarruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan berbagai sarana sosial. Hukum-hukum itu mulanya bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti Allah dengan yang lain, sehingga bersifat universal. Demikianlah Sunnah al-Khaliq diberlakukan terhadap perorangan dan bangsa-bangsa dengan sama.
Syari’at Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya. Dia-lah yang Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syari’at-Nya, Dia mendidik manusia hidup tertib dan adil untuk mencapai kehidupan yang aman, sejahtera dan bahagia di dunia dan di akhirat.
Adapun hikmah dari nasikh dan mansukh antara lain:[10]
1. Memelihara Kepentingan Hamba
2.Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat.
3. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak
4.Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan. Adanya Nasikh Mansukh tidak dapat dipisahkan dari sifat nuzulnya al-Quran itu sendiri dan tujuan yang ingin dicapainya. Nuzulnya al-Quran tidak terjadi sekaligus, tetapi berangsur dalam rentang waktu 20 tahun lebih. Hal ini memang dipertanyakan orang ketika itu, lalu al-Quran itu sendiri menjawab hanya bahwa penahapan itu adalah untuk pemantapan (Qs 25:32). Khusus dibidang hukum, Syaikh Al-Qasimi berkata:
“Sesungguhnya Al-Khaliq yang Maha suci lagi maha tinggi mendidik bangsa Arab selama 23 tahun dengan proses tadaruj (bertahap) sehingga mencapai kesempurnaannya dengan perantaraan belbagai sarana sosial. Hal ini disebabkan karena hukum-hukum itu mula-mula bersifat kedaerahan, kemudian secara bertahap diganti oleh Allah dengan yang lain, sehingga bersifat Universal. Demikianlah Sunnah al Khaliq yang diberlakukan terhadap perorangan dan bangsa-bangsa secara sama. Jika engkau melayangkan pandanganmu kealam yang hidup ini, engkau pasti akan tahu bahwa Naskh (penghapusan) adalah undang-undang alami yang lazim, baik dalam bidang material maupun spiritual, seperti proses kejadian manusia dari unsur-unsur sperma dan telur, kemudian menjadi janin, lalu berubah menjadi anak, selanjutnya menjadi remaja, orang dewasa, orang tua dan seterusnya.
Setiap proses peredaran (keadaan) adalah merupakan buktu nyata, bahwa dalam alam ini proses tersebut berjalan rutin. Dan kalau Naskh yang terjadi dialam raya ini tidak lagi diingkari terjadinya, mengapa adanya penghapusan dan proses penggantian hokum itu diingkari? Padahal itu merupakan proses pengembangan dan tadaruj dari yang rendah kepada yang lebih tinggi.
Apakah seseorang dengan penalarannya akan berpendapat bahwa yang bijaksana itu adalah langsung membebani bangsa arab yang masih dalam proses permulaan itu, dengan beban-beban yang hanya patut bagi suatu bangsa yang telah mancapai kemajuan dan kesempurnaan kebudayaan yang tinggi? Dan kalau pikiran seperti ini tidak akan diucapkan oleh seseorang yang berakal sehat, maka bagaimana mungkin semacam itu akan dilakukan oleh Allah SWT. Yang maha menentukan hukum, yang memberikan beban kepada suatu bangsa yang masih dalam proses pertumbuhan dan beban yang tidak akan bisa dilakukan melainkan oleh suatu bangsa yang telah mencapai jengjang kedewasaannya? Lalu manakah yang lebih baik, apakah syariat kita yang menurut sunnah Allah menentukan hukum-hukumnya sendiri, lalu Ia Nasakh mana yang Ia pandang perlu dengan Ilmu-Nya dan Ia sempurnakan hal-hal yang Ia pandang manusia tidak mampu melaksanakannya karena suatu factor yang manusiawi? Ataukah syari’at-syari’at agama lain yang diubah sendiri oleh pemimpin-pemimpinnya dan dihapus sebagian hukum-hukumnya sehingga lenyap sama sekali, yang kemudian menjadi amat sulit diamalkan karena tidak sesuai lagi dengan tuntunan hidup kemanusiaan dari berbagai seginya.
Bab III
Kesimpulan dan Penutup
Nasikh-Mansukh mensyaratkan ; 1), Hukum yang di-mansukh adalah hukum syara’. 2), Dalil penghapusan hukum tersebut adalah hukum syara’ yang datang lebih kemudian, yang hukumnya mansukh. 3), Hukum yang mansukh, hukumnya tidak terikat atau dibatasi oleh waktu tertentu.
Macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada tiga:
1. Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap
2. Nash Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya Tetap
3. Nash Yang Mansukh Hukumnya dan Lafazhny
Macam-macam naskh dilihat dari nash yang nasikh (menghapus)
1. Al-Qur’an Dimansukh dengan Al-Qur’an
2. Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad
3. As-Sunnah Dimansukh dengan Al-Qur’an
4. As-Sunnah Dimansukh dengan As-Sunnah
Adapun hikmah dari nasikh dan mansukh antara lain:
1. Memelihara Kepentingan Hamba
2.Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat.
3. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak
4.Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.
Demikian makalah ini kami susun, semoga dapat member manfaat bagi kami para penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Daftar Pustaka
Baidan Nashrudin, Wawasan baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005)
Djalal Abdul, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2008)
Hasbi Ash- Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al Qur’an/ Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1954) hal.
M. Yusuf Kadar, Studi Al-quran (Jakarta, Amzah, 2009)
Shahrur Muhammad, dkk, Studi al Qur’an kontemporer,( Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002)
[1] Kadar M. Yusuf, Studi Al-quran (Jakarta, Amzah, 2009) hal. 114
[2] Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2008), hal. 120-121.
[3] Muhammad Shahrur , dkk, Studi al Qur’an kontemporer,( Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002) hal. 114.
[4] Hasbi Ash- Shidieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al Qur’an/ Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1954) hal. 108- 109.
[5] Nashrudin Baidan, Wawasan baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005) hal.180
[6] http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/11/06/14/lms4tr-nasikh-dan-mansukh diakses pada 04 November 2011 jam 20.30
[7] Lihat juga Kadar M. Yusuf, Studi Al-quran (Jakarta, Amzah, 2009) hal 118-123
[8] http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-digest/11/06/14/lms4tr-nasikh-dan-mansukh diakses pada 04 November 2011 jam 20.30
[9] http://bulletinalqalam.blogspot.com/2010/04/kedudukan-naskh-masalah-naskh-bukanlah.html diakses pada 05 November 2011 jam 21.00
[10] Ibid, diakses pada 05 November 2011 jam 21.00
0 comments
Post a Comment