Wednesday, September 12, 2012

Qiroatul Qur'an

PENDAHULUAN
A.           Latar Belakang
       Al-Qur’an tidak terlepas dari aspek qira’at, karena arti al-Qur’an sendiri secara bahasa mengandung arti bacaan atau yang dibaca. Qira’at al-Qur’an tersebut disampaikan serta diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. kepada para sahabatnya sesuai dengan wahyu yang diterimanya dari malaikat Jibril. Selanjutnya para sahabat menyampaikan dan mengajarkan kepada para tabi’in dan para tabi’in pun menyampaikan serta mengajarkannya kepada para tabi’ tabi’in dan demikian seterusnya dari generasi ke genarisi berikutnya. Qira’at al-Qur’an yang dikenal dan dipelajari oleh kaum muslimin sejak zaman Nabi hingga sekarang ternyata tidak hanya satu macam versi qira’at sebagaimana yang terbaca dalam mushaf yang dimiliki umat Islam sekarang. Qira’at memiliki  berabagi versi qira’at lain yang juga bersumber dari Nabi Muhammad saw. Sehinggga permasalahan perbedaan qira’at ini menjadi pembicaraan sebagian masyarakat Islam.
       Berbagai macam cara baca al-Quran diajarkan kepada masyarakat Islam sahabat-sahabat besar seperti Abdullah bin Masud, Ubai bin Ka’ab, Abu Darda’, dan Zaid bin Tsabit adalah generasi pertama. Abdullah bin Abbas, Abdul Aswad Dualli, Al-Qomah bin Qois, Abdullah bin Said, Aswad bin Yazid, Abu Abdirrahman Sulami dan Masruq bin Ajda’ adalah generasi kedua. Hingga kemudian mereka melahirkan generasi ketiga sampai kedelapan. Sejak saat itulah penyusunan qira’at dimulai dan setelah itu tujuh orang qari’ ditentukan.[1]
       Qira’at merupakan cabang ilmu tersendiri dalam ulum al-Qur’an. Tidak banyak orang yang tertarik dengan ilmu qira’at hal itu dikarenakan ilmu ini memang tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia sehari-hari tidak seperti ilmu fiqih, hadis, dan tafsir.[2] Ilmu Qira’at tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan dengan halal-haram atau hukum-hukum tertentu. Namun, ilmu qira’at mempelajari manhaj (cara, metode) masing-masing imam qurra’ sab’ah atau ‘asyaroh dalam membaca al-Qur’an.
       Untuk membaca al-Qur’an dalam satu qira’at diperlukan penguasaan cara membaca al-Qur’an dan penguasaan dalam pengucapan lafadz-lafadz tertentu dalam al-Qur’an secara bersamaan. Karen jika hanya menguasai salah satunya saja kemudian membaca al-Qur’an dengan Qira’at tertentu akan kacau jadinya. Biasanya orang yang membaca dengan qira’at syaratnya harus berguru langsung dengan syeikh qira’at untuk menghindari terjadinya kesalahan.
      Dari permasalahan di atas, maka kami akan membahas makalah kami yang berjudul “QIRA’AT AL-QUR’AN”.
      
B.            Rumusan Masalah
       Dari pemaparan diatas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Pengertian Qira’at Al-Qur’an
2.      Sejarah Munculnya Qira’at Al-Qur’an
3.      Macam-macam Qira’at Al-Qur’an
4.      Al-Qur’an Diturunkan dengan Tujuh Huruf
5.      Fungsi Qira’at dalam Penetapan Hukum Islam

C.           Tujuan dan Manfaat Penulisan
       Makalah ini ditulis bertujuan untuk memperkenalkan adanya berbagai versi qira’at al-Qur’an  yang berbeda dengan qira’at al-Qur’an yang terdapat dalam mushaf yang dimiliki umat Islam sekarang. Sekaligus juga untuk mengungkapkan, bagaimana sebenarnya kedudukan qira’at al-Qur’an yang berbeda itu. Tujuan lain dari makalah ini adalah untuk memberikan informasi tentang, sejauh mana perbedaan qira’at berpengaruh terhadap penetapan hukum dalam al-Qur’an.
       Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan kita seputar masalah qira’at al-Qur’an dalam salah satu pembahasan ulumul qur’an (ilmu-ilmu al-Qur’an).
PEMBAHASAN
A.           Pengertian Qira’at Al-Qur’an
       Qira’at berasal dari bahasa Arab yaitu قِرَاءَات  jamak dari قِرَاءَة  , secara etimologis merupakan akar kata dari قَرَأَ  yang berarti membaca. Jadi, lafal قَرَاءَات secara lughawi berarti beberapa pembacaan. Di bawah ini adalah beberapa pengertian qira’at secara istilah:
1.      Menurut Az-Zarqani, qira’at adalah suatu aliran yang dianut oleh seorang imam dalam membaca al-Qur’an yang berbeda satu dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an serta disepakati riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan dalam pengucapan huruf maupun dalam pengucapan lafalnya.
2.      Menurut Ibnu Al-Jazari, qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menyandarkan pada penukilannya.
3.      Menurut Al-Qastalani, qira’at adalah suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, i’rab, itsbat, fashl, dan washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan.
4.      Menurut Az-Zarkasyi, qira’at adalah perbedaan (cara mengucapkan) lafazh-lafazh al-Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut secara takhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainnya.
5.      Menurut Ash-Shabuni, qira’at adalah suatu madzab cara pelafalan       al-Qur’an yang dianut salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah.
6.      Dalam istilah keilmuan, qira’at adalah salah satu madzhab pembacaan al-Qur’an yang dipakai oleh salah seorang imam qurra sebagai suatu madzhab yang berbeda dalam madzhab lainnya.
       Jadi, Qira’at Al-Qur’an adalah ilmu yang mempelajari cara mengucapkan lafadz-lafadz al-Qur’an sebagaimana yang diucapkan Nabi Muhammad atau sebagaimana yang diucapkan oleh para sahabat didepan Nabi lalu beliau menyetujuinya dan perbedaannya  cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an yang disandarkan kepada orang masing-masing imam qurra’.

B.            Sejarah Munculnya Qira’at Al-Qur’an
       Qira’at sebenarnya sudah dikenal pada masa Nabi Muhammad namun pada masa itu qira’at belum dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu. Pada permulaan abad pertama hijriah pada masa tabi’in, muncullah seorang ulama yang konsen terhadap masalah qira’at secara sempurna karena keadaan menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri sehinggga mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syari’at lainnya, sehingga mereka menjadi imam dan ahli qira’at yang diikuti dan dipercaya.[3]
       Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at, dimulai pada masa tabi’in, yaitu pada awal abad 2 H. Saat itu para qari’ sudah tersebar di berbagai pelosok negeri, mereka lebih suka mengemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qira’at imam-imam lain. Qira’at tersebut diajarkan secara turun temurun dari guru ke guru, sehingga sampai kepada para imam qira’at baik yang tujuh, sepuluh atau yang empat belas.
       Kebijakan Abu bakar As-Siddiq yang tidak mau memusnahkan mushab-mushab lain selain yang telah disusun Zaid bin tsabit seperti mushab yang dimiliki Ibnu mas’ud, Abu al-asy’ary, Miqdad bin Amr, Ubai bin Ka’ab, dan Ali bin Abi Thalib, mempunyai andil besar dalam kemunculan qira’at yang beragam.
       Adanya mushab-mushab itu disertai dengan penyebaran qari’ ke berbagai penjuru ini menyebabkan sesuatu yang tidak diinginkan yakni munculnya qira’at yang semakin  beragam. Apalagi setelah terjadinya trasformasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan arab sehingga perbedaan qira’at itu semakin terlihat jelas dan menimbulkan berbagai penyimpangan.
       Orang yang pertama kali menyusun qira’at dalam satu buku adalah Abu Ubaidillah Al-Qasim bin Salam yang mengumpulkan qira’at kurang lebih sebanyak 25 macam kemudian barulah imam-imam lainnya mulai menyusun qira’at. Persoalan qira’at terus berkembang hingga masa Abu Bakar Ahmad bin ‘Abbas bin Mujahid yang dikenal dengan nama Ibnu Mujahid dialah orang yang meringkas menjadi tujuh macam qira’at (qira’ah sab’ah) yang disesuaikan dengan tujuh imam qari’.[4]
       Inisiatif Ibnu Mujahid itu sempat memancing lahirnya kecaman dari sebagian ulama. Ibnu Amr mencela keras Ibnu Mujahid dan mengatakannya telah berbuat sesuatu yang tidak layak. Ia dituduh telah mengaburkan persoalan dengan mengatakan bahwa qira’at yang tujuh itu adalah yang disebut dalam hadist nabi yang berbunyi ( اِنِّ هَذَا الْقُرْآنَ اُنْزِلَ عَلَى سَبْعَتِ أَحْرُفٍ فَاقْلرَؤُوْا ). Namun berkat jasa Ibnu Mujahid, kita dapat mengetahui mana qira’at yang dapat diterima dan yang ditolak. Ibnu Mujahid memilih ketujuh tokoh qira’at  tersebut karena menurut pertimbangan, merekalah yang paling terkemuka, mashur, paling bagus bacaanya, dan memiliki kedalaman ilmu dan usia panjang dan mereka dijadikan imam qira’at oleh masyarakat mereka masing-masing.
       Dengan demikian, seseorang tidak harus terpaku pada ketujuh imam qira’at (seperti Abu Amr, Nafi’, Ashim, Hamzah, Al-Kisai’, Ibnu Amir, dan Ibnu Katsir), tapi ia pun harus menerima setiap qira’at yang sudah memenuhi tiga persyaratan yaitu sesuai dengan salah satu Rasm Utsmani, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, dan sanadnya shahih.

C.           Macam-Macam Qira’at Al-Qur’an
       Dilihat dari segi kuantitas qira’at terbagi menjadi tiga macam yaitu:
1.      Qira’at sab’ah (qir’at tujuh) adalah imam-imam qira’at yang tujuh yakni Abdullah bin Katsir Ad-Dari, Nafi’ bin ‘Abdurrahman bin Abu Na’im, Abdullah Al-Yahshibi, Abu ‘Amar, Ya’qub (nama lengkapnya Ibn Ishak Al-Hadhrami), Hamzah, dan Ashim.
2.      Qira’at ‘Asyarah (qira’at sepuluh) adalah qira’at tujuh yang telah disebutkan di atas ditambah lagi dengan tiga imam qira’at berikut yakni Abu Ja’far, Ya’qub bin Ishaq bin Yazid bin ‘Abdullah bin Abu Ishaq      Al-Hadhrami Al-Basri, dan Khallaf bin Hisam.
3.      Qira’at Arba’at Asyarah (qira’at empat belas) adalah qira’at sepuluh yang telah disebutkan diatas di tambah dengan empat imam qira’at berikut yakni Al-Hasan Al-Bashri, Muhammad bin ‘Abdirrahman (dikenal dengan Ibn Mahishan), Yahya’ bin Al-Mubarak Al-Yazidi An-Nahwi                Al-Baghdadi, dan Abu Al-Farj Muhammad bin Ahmad Asy-Syanbudz.
       Dilihat dari segi kualitasnya, qira’at terbagi menjadi enam macam yaitu:
1.      Qira’ah Mutawatir yakni qiraa’at yang diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang tidak mungkin sepakat untuk berdusta, sanadnya bersambung hingga penghabisan yakni sampai kepada Rasululllah saw. inilah yang umum dalam hal qira’at.
2.      Qira’ah Masyhur yakni qira’at yang memiliki sanad shahih tetapi tidak sampai pada kualitas mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan tulisan mushaf  Utsmani, masyhur dikalangan qurra’, dibaca sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan Al-Jazari, dan tidak termasuk qira’ah yang keliru dan menyimpang. Para ulama menyebutkan bahwa qira’at macam ini termasuk qira’at yang dapat diamalkan bacaannya.
3.       Qira’ah Ahad yakni qira’at yang memiliki sanad shahih tetapi menyalahi tulisan mushaf  Utsmani dan kaidah bahasa Arab, tidak masyhur dikalangan qurra’ sebagaimana qira’at mutawatir dan qira’at masyhur. Qira’at macam ini tidak boleh dibaca dan tidak wajib meyakininya.
4.      Qira’ah Syadz (menyimpang) yakni qira’at yang sanadnya tidak shohih. Diantara macam qira’at ini adalah:  مَلَكَ يَوْمَ الدِّيْنِ sedangkan qira’at mushaf utsmani ialah:
5.      Qira’at Maudhu’ (palsu atau dibuat-buat) yakni qira’at yang tidak ada asalnya.
6.      Qira’at Mudraj (sisipan) yakni qira’at yang disisipkan atau ditambahkan ke dalam qira’at yang sah.
       Menurut jumhur ulama, qira’at yang tujuh itu mutawatir. Dan yang tidak mutawatir, seperti masyhur tidak boleh dibaca di dalam maupun di luar shalat.
       Menurut An-Nawawi qira’at syadz tidak boleh dibaca baik di dalam maupun di luar sholat karena ia bukan al-Qur’an. Al-qur’an hanya ditetapkan dengan sanad mutawatir, sedangkan qira’at syadz tidak mutawatir. Orang yang berpendapat selain ini adalah salah. Apabila seseorang menyalahi pendapat ini dan membaca dengan qira’at yang syadz, maka tidak boleh dibenarkan baik di dalam maupun diluar sholat. Para fuqaha Baghdad sepakat bahwa orang yang membaca al-qur’an dengan qira’at yang syadz harus disuruh bertaubat. Ibnu Abdil Barr menukilkan ijma’ kaum muslimin tentang al-Qur’an yang tidak boleh dibaca dengan qira’at yang syadz, tidak sah shalat dibelakang orang yang membaca al-Qur’an dengan qira’at-qira’at yang syadz itu.[5]
       Tolak ukur yang dijadikan pegangan para ulama dalam menetapkan qira’at shohih adalah sebagai berikut:
a.       Sesuai dengan kaidah bahasa arab, baik yang fasih atau paling fasih.
b.      Sesuai dengan salah satu kaidah penulisan mushaf utsmani walaupun hanya kemungkinan.
c.       Memiliki sanad yang shahih.

D.           Al-Qur’an Diturunkan dengan Tujuh Huruf
       Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan maksud tujuh huruf ini dengan perbedaan yang bermacam-macam. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang artinya sebagai berikut Rrasulullah bersabda : sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf (tujuh macam bacaan), bacalah apa saja jenis bacaan yang mudah bagimu dari al-Qur’an.”
       Dalam hadits yang yang dikemukakan diatas tampak dengan jelas bahwa dispensasi yang diberikan rasulullah dalam membaca al-qur’an lebih dari satu huruf (bacaan) dimaksudkan untuk memudahkan umat islam dalam membaca      al-qur’an sehingga mereka tidak merasa dibebani oleh bacaan-bacaan yang sulit untuk dilafalkan, sebab sebagaimana dinyatakan Rasulullah dan memang cocok dengan mereka yang ummi (buta aksara) di kalangan mereka. Dengan kemudahan yang diberikan Rasulullah dalam membaca al-qur’an mereka makin tertarik kepada Islam, sehingga mereka merasakan Islam itu benar-benar diturunkan untuk mereka demi membimbing kehidupan mereka di muka bumi ini agar memperoleh kebahagiaan dunia akhirat.
       Dari uraian diatas, yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam kajian ilmu tafsir ialah  tujuh macam bacaan yang diajarkan Rasulullah terjadi dimasa kenabian tersebut karena al-qur’an memang diturunkan dalam tujuh bacaan. Tetapi tidak berarti bahwa setiap kata dalam al-qur’an dapat dibaca sebanyak tujuh bacaan yang berbeda. Jadi yang dimaksud dengan al-qur’an diturunkan dengan tujuh huruf ialah memberi isyarat kepada ummat bahwa mereka diberi kelonggaran untuk membaca al-qur’an sesuai dengan bacaan yang mudah bagi mereka.[6]
       Sebagian ulama ada yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf disini adalah tujuh segi yang terdapat dalam al-Qur’an, yaitu; amr (perintah), nahyu (larangan), wa’d (ancaman), jadal (perdebatan), qashash (cerita), dan matsal (perumpamaan). Atau amr, nahy, haram, muhkam, mutasyabih dan amtsal.
       Segolongan ulama juga berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ini adalah tujuh hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf (perbedaan), yakni:
1.      Ikhtilaf asma’ (perbedaan kata benda) dalam bentuk mufrad, mudzakkar, jamak, dan lain sebagainya.
2.      Perbedaan tashrif (perubahan) kata kerja dari masa lampau menjadi masa sekarang dan masa yang akan datang.
3.      Perbedaan jabatan kata.
4.      Perbedaan taqdim (mendahului) dan ta’khir (mengakhirkan) dalam penempatan suatu kata.
5.      Perbedaan dengan sebab adanya penambahan dan pengurangan.
6.      Perbedaan dalam segi ibdal (pergantian), baik pergantian huruf dengan huruf.
7.      Perbedaan dialek dalam pembacaan tafkhim (tebal), dan tarqiq (tipis), fathah dan imalah, izhar dan idgham, hamzah dan tas-hil, dan lain-lain.
       Ada juga ulama yang berpendapat, yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut adalah qira’at sab’ah. Pendapat yang paling kuat ialah pendapat yang menyatakan bahwa tujuh huruf yang dimaksud adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab dalam mengungkapkan satu makna yang sama. Ketujuh bahasa tersebut yaitu Quraysy, Huzayl, Saqif, Hawazin, Kinanat, Tamim, dan Yaman.
       Pendapat yang kedua, bahwasannya yang dimaksud tujuh huruf itu adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab yang dengannya al-Qur’an diturunkan. Artinya kalimat-kalimat al-Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh bahasa tadi.
       Pendapat yang ketiga menyatakan bahwa yang dimaksud tujuh huruf adalah tujuh aspek hukum/ajaran, yaitu amr, nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih, dan amtsal.
       Pendapat yang keempat, bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf.
      
E.            Fungsi Qira’at dalam Penetapan Hukum Islam
       Meskipun qira’at bukan satu-satunya yang dijadikan dasar dalam istinbath (penetapan hukum), namun tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan qira’at berpengaruh besar dalam penetapan hukum Islam. Berikut ini beberapa contoh perbedaan qira’at yang ditafsirkan oleh imam qira’at:
a.       Surah Al-Baqarah [2]: 222
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah Suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
       Berkaitan dengan ayat diatas, diantara tujuh imam qira’at yaitu Abu Bakar Syu’bah, Hamzah, dan Al-Kisa’i membaca kata “yathhurna” dengan memberi syiddah pada huruf tha’ dan ha. Maka, bunyinya menjadi “yuththahhirna”. Berdasarkan perbedaan qira’at ini, para ulama fiqih berbeda pendapat sesuai dengan banyaknya perbedaan qira’at. Ulama yang membaca “yathhuma” berpendapat bahwa seorang suami tidak diperkenankan berhubungan dengan istrinya yang sedang haid, kecuali telah suci atau berhenti dari keluarnya darah haid. Sementara yang membaca “yuththahhirna” menafsirkan bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan istrinya, kecuali telah bersih.
       Sehubungan dengan hal tersebut, batas keharaman seorang suami untuk mencampuri istrinya yang haid adalah sampai wanita tersebut suci dalam arti telah berhenti darah haidnya, dan telah mandi dari hadas besarnya.[7]
       Contoh lainnya yaitu pada surah Al-Ma’idah ayat 6 yang berbunyi:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, ...”
       Berkaitan dengan ayat ini, Nafi’, Ibn ‘Amir, Hafs, dan Al-Kisa’i membacanya dengan “arjulakum”, sementara imam-imam yang lainnya membacanya dengan “arjulikum”. Dengan membaca “arjulikum”, mayoritas ulama berpendapat wajibnya membasuh kedua kaki dan tidak membedakan dengan menyapunya. Qira’at dipahami oleh jumhur ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu diwajibkan mencuci kedua kaki. Sementara qira’at versi lainnya dipahami oleh sebagian ulama dengan mengahasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu tidak diwajibkan mencuci kedua kaki, akan tetapi hanya diwajibkan mengusapnya (dengan air).
      
BAB III
KESIMPULAN

1.        Qira’at Al-Qur’an adalah ilmu yang mempelajari cara mengucapkan lafadz-lafadz al-Qur’an sebagaimana yang diucapkan Nabi Muhammad atau sebagaimana yang diucapkan oleh para sahabat didepan Nabi lalu beliau menyetujuinya dan perbedaannya  cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an yang disandarkan kepada orang masing-masing imam qurra’.
2.        Orang yang pertama kali menyusun qira’at dalam satu buku adalah Abu Ubaidillah Al-Qasim bin Salam kemudian imam-imam lainnya mulai menyusun qira’at. Persoalan qira’at terus berkembang hingga masa Abu Bakar Ahmad bin ‘Abbas bin Mujahid yang dikenal dengan nama Ibnu Mujahid dialah imam yang pertama yag menghimpun bermacam-macam qira’at dalam satu kitab. Ia juga membatasi hanya pada ketujuh imam qira’at saja karena menurut pertimbangan, merekalah yang paling terkemuka, mashur, paling bagus bacaanya, dan memiliki kedalaman ilmu dan usia panjang dan mereka dijadikan imam qira’at oleh masyarakat mereka masing-masing.
3.        Dari segi kuantitasnya qira’at terbagi menjadi tiga yaitu Qira’ah Sab’ah (Qira’at Tujuh), Qira’at ‘Asyarah (Qira’at Sepuluh), dan Qira’at ‘Arba’at Asyarah (Qira’at Empat Belas). Dan dari segi kualitasnya Qira’at terbagi menjadi enam macam yaitu Qira’ah Mutawatir, Qira’ah Masyhur, Qira’ah Ahad, Qira’ah Syadz (menyimpang), Qira’ah Maudhu (palsu) dan Qira’at Mudraj.
4.        Yang dimaksud dengan al-Qur’an diturunkan dengan tujuh huruf adalah memberi kelonggaran kepada umat manusia dalam membaca al-Qur’an sesuai dengan bacaan yang mudah bagi mereka. Namun, bacaan ayat-ayat al-Qur’an tidak boleh dibaca sesuka hati si pembacanya karena sudah ada aturan yang sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah.
5.        Dalam penetapan hukum, qira’at dapat menguatkan ketentuan-ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama; dapat mentarjih hukum yang diperselisihkan para ulama; dapat menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda; dapat menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula; dan dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata di dalam al-Qur’an yang sulit dipahami maknanya.
DAFTAR PUSTAKA
Akaha, Abduh Zulfidar, Al-Qur’an dan Qira’at, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996
Anwar, Rosihan,  Ulum Al-Qur’an, Bandung: Penerbit Pustaka, 2008.
Baidan, Nashruddin,  Wawasan Baru Ilmu tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Hasanuddin, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Qur’an, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995
Ma’rifat, M. Hadi, Sejarah Al-Qur’an, Jakarta: Al-Huda, 2007.
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Mabaahitsu fi ‘Ulumi al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006.



       [1] M. Hadi Ma’rifat, Sejarah Al-Qur’an, (Jakarta: Al-Huda, 2007), hlm. 211.
       [2] Abduh Zulfidar Akaha, Al-Qur’an dan Qira’at, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996), hlm.117.
       [3] Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Mabaahitsu fi ‘Ulumi al-Qur’an, terj. Aunur Rafiq El-Mazni, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), hlm. 212.
       [4] Rosihan Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: Penerbit Pustaka, 2008), hlm. 144.
       [5] Op, Cit.,  Syaikh Manna’ Al-Qaththan, hlm. 221.
       [6] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 65.
       [7] Hasanuddin, Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995), hlm. 205.

0 comments

Post a Comment