Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan alami. Namun, terkadang keinginan ini terbentur oleh takdil Ilahi , dimana kehendak untuk mempunyai anak tidak tercapai dikarenakan sesuatu hal. Akan tetapi, harus kita ingit, bahwa semua kuasa ada ditangan Allah SWT, manusia hanya bisa berusaha dan berdo’a. jika semuan usaha tidak mendapatkan hasil, maka jalan terakhir yang dapat dilakukan adalah mengangkat anak atau adopsi.
Mengadopsi anak adalah
tradisi yang sudah ada sejak jaman jahiliyah dan dibenarkan di awal kedatangan
Islam. Bahkan Rasulullah sendiri melakukannya, ketika beliau mengadopsi Zaid
bin Haritsah sebelum beliau diutus Allah SWT sebagai Nabi dan Rasul.
Di Negara kita,
mengadopsi anak susah menjadi fenomena yang sering kita jumpai di masyarakat
kita. Adopsi dinilai sebagai perbuatan yang pantas dikerjakan oleh pasangan
suami istri yang belum memiliki keturunan.
Akan tetapi dikalangam
masyarakat kita khususnya yang beragama Islam, tidak terlalu memahami tentang
hukum-hukum yang berhubungan dengan anak angkat, misalnya manisbahkan anak
angkat tersebut kepada orang tua angkatnya, manyamakannya dengan anak kandung
sehingga tidak memperdulikan batas-batasan, menganggapnya berhak mendapat
warisan seperti anak kandung, dan lain-lain. Padahal, syariat Islam telah
menjelaskan dengan lengkap dan gamblang hukum-hukum yang berkenaan dengan
masalah anak angkat ini,
Berdasarkan Pendahuluan
yang ada, maka kami mengangkat sebuah makalah dengan judul “Adopsi atau
Al-Tabanni”. Semoga dengan
adanya makalah ini dapat membantu mengembangkan dan memperluas cakrawala
berfikir kita.
B.
Pengertian
Adopsi
Adopsi beasal dari
bahasa inggris “Adoption” yang artinya pengangkatan atau pemungutan. Sehingga
sering dikatakan “Adoption of a child” yang artinya pengangkatan atau
pemungutan anak.[1]
Dalam bahasa Arab
disebut اتبنى yang menurut Prof. Mahmud
Yunus diartikan dengan “mengambil anak angkat”. Sedang dalam kamus Munjid
diartikan اتخذ ابنا yaitu menjadikannya sebagai anak.[2]
Menurut Muderis, S.H,
anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua
angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dengan tujuan untuk
kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.
C.
Adopsi
dalam hukum Islam
Islam menetapkan bahwa
antara orang tua angkat dengan anak angkatnya tidak terdapat hubungan nasab,
kecuali hanya hubungan kasih sayang dan hubungan tanggung jawab sebagai sesame manusia.
Karena itu, antara keduanya bisa berhubungan tali perkawinan, misalnya Nabi
Yusuf bisa mengawini ibu angkatnya (Zulaiha) mantan istri Raja Abul Aziz (bapak angkat Nabi Yusuf).
Begitu juga halnya
Rasulullah SAW, diperintahkan oleh Allah mengawini bekas istri Zaid sebagai
anak angkatnya. Berarti antara Rasulullah dan Zaid, tidak ada hubungan nasab ,
kecuali hanya hubungan kasih sayang antara bapak angkat dengan anak angkatnya.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Ahzab ayat 37, yang
berbunyi :
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata
kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga)
telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah
kepada Allah", sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah
akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih
berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap
Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia[3]
supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri
anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan
keperluannya daripada isterinya[4]
dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.
Islam
telah membolehkan adopsi dengan ketentuan :[5]
1.
Larangan menisbatkan
anak angkat kepada selain ayah kandungnya, berdasarkan firman Allah SWT, yang
berbunyi :
“Panggilah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak merek, itulah
yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak
mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan
maula-maulamu[6]
dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang
ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.
Islam tidak melarang
praktek adopsi, melainkan cara-cara pengadopsian yang mengandung manipulasi.
Misalnya adopsi dengan cara anak angkat dinasabkan dan dipanggil dengan nama
ayah angkatnya sehingga mengandung kebohongan baik terhadap anak maupun
masyarakat. Rasulullah Saw memberikan larangan “Barang siapa yang mengaku nasab
selain pada ayah (kandungnya sendiri), padahal ia mengetahui bahwa ia bukan
ayahnya, maka baginya haram masuk surga.” (HR. Bukhari & Muslim)
2. Anak
angkat itu dibolehkan dalam Islam, tetapi sekedar sebagai anak asuh, tidak
boleh disamakan dengan status anak kandung, baik dari segi pewarisan, hubungan
mahram maupun wali dalam perkawinan.
3. Karena
anak angkat itu tidak berhak menerima harta warisan dari orang tua angkatnya,
maka boleh mendapatkan harta benda dari orang tua angkatnya berupa hibah, yang
maksimal sepertiga dari jumlah kekayaan orang tua angkatnya.
4. Diperbolehkannya
bagi bapak angkat untuk menikahi bekas istri anak angkatnya, berbeda dengan
kebiasaan di jaman Jahiliyah.
Agama Islam mendorong
seorang muslim untuk memelihara anak
orang lain yang tidak mampu, miskin, terlantar dan lain-lain. Tetapi tidak
diperbolehkan memutus hubungan dan hak-hak lainnya dengan orang tua kandungnya.
Pemeliharaan itu harus didasarkan atas penyantunan semata-mata , sesuai dengan
anjuran Allah.
Yang harus diperhatikan
adalah pengangkatan anak yaitu perlakuan sebagai anak dalam segi kecintaan,
pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan segala kebutuhannya, bukan
diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan oleh Dathurrohman dalam bukunya ilmu waris.[7]
“Pengambilan anak
angkat ini menurut versi terakhir diatas adalah justru merupakan satu amal baik
yang dilakukan oleh sebagian orang yang mampu lagi baik hati, yang tidak
dianugrahi anak oleh Allah SWT. mereka mematrikannya dalam satu jenis
pendekatan diri kepada Allah dengan mendidik anak-anak, si fakir yang
terbengkalai dari kecintaan ayahnya atau ketidakmampuan orang tuanya, tidak
diragukan lagi bahwa usaha-usaha semacam itu merupakan satu amal yang disukai
dan dipuji oleh Allah SWT.
D.
Hak
dan Kewajiban Orang Tua dan Anak Angkat
Dalam Islam, hubungan
antara manusia adalah hubungan yang didasarkan pada saling tolong-menolong satu
sama lain dalam kebaikan. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Maidah/5:2
“Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya.
Ayat di atas menegaskan bahwa pada dasarnya hubungan antar
manusia lebih-lebih di antara orang beriman harus didasarkan pada kebutuhan
untuk saling menolong dan mencegah dari perbuatan buruk. Oleh karena itu, maka
hubungan orang tua angkat dengan anak angkat adalah hubungan yang didasarkan
pada nilai saling tolong menolong dan saling mencegah dari keburukan.
Setiap mu'min berfungsi sebagai auliya (penjaga,
penolong) atas mu'min lainnya. Hubungan antara orang tua angkat dengan anak
angkatnya adalah hubungan saling melindungi satu sama lain. Hal ini berarti
bahwa pada prinsipnya siapa pun yang lebih kuat di antara kedua belah pihak
tersebut, dia wajib menggunakan kekuatannya untuk menjaga dan menolong pihak
lain. Secara ekonomi misalnya, ketika orangtua angkat kuat sementara anak
angkat lemah, maka orang tua mempunyai kewajiban untuk menafkahi dan memenuhi
kebutuhan hidup anak angkat. Apalagi faktor ekonomi inilah yang pada umumnya
menjadi motivasi utama dalam pengangkatan anak. Namun, jika kondisi sebaliknya
terjadi di kemudian hari di mana orangtua angkat secara ekonomi lebih lemah
dari anak angkatnya yang telah sukses, maka anak angkat mempunyai kewajiban
untuk menjaga dan menolong orang tua angkat mereka.[8]
Hak dan kewajiban lainnya yang harus dijaga di antara
orangtua angkat dan anak angkatnya adalah menjaga silaturrahim (hubungan baik)
antara anak angkat dengan keluarganya. Anak angkat tidak hanya berhak untuk
mengetahui siapa orang tua yang sesungguhnya, namun ia juga berhak untuk
menjalin hubungan baik dengan orangtua dan saudara-saudara kandungnya. Allah
dan Rasulullah Saw melarang memutus tali silaturrahim seseorang dengan keluarga
mereka, sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
ö@ygsù óOçFø|¡tã bÎ) ÷Läêø©9uqs? br& (#rßÅ¡øÿè? Îû ÇÚöF{$# (#þqãèÏeÜs)è?ur öNä3tB$ymör& ÇËËÈ
“Maka
apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka bumi dan
memutuskan hubungan kekeluargaan?” (QS Muhammad/ 47:22)
Rasulullah Saw
bersabda: Barangsiapa yang memisahkan
antara orang tua dan anaknya, maka Allah akan memisahkan antara dia dan
orang-orang yang dikasihininya di hari kiamat kelak (HR. Imam Turmudzi).
Berdasarkan uraian di atas, maka hubungan adopsi dapat
memberikan manfaat bagi kedua belah pihak dan keluarga masing-masing. Di satu
sisi orang tua anak angkat membantu meringankan beban orangtua kandung yang
mungkin mempunyai keterbatasan tertentu dalam menjalankan kewajiban sebagai
orang tua. Di sisi lain anak angkat memberikan kebahagiaan kepada orang tua
angkat yang mungkin karena sesuatu hal belum dikaruniai anak kandung.[9]
E.
Kesimpulan
Adopsi adalah seseorang yang mengangkat anak dari orang lain,
kemudian ia memperlakukan anak tersebut sama dengan anak kandungnya, baik dari
segi kasih sayang maupun nafkahya atau biaya hidup tanpa memandang perbedaan.
Meskipun demikian agama tidak menganggap sebagai anak kandungnya, karena anak
angkat tidak dapat disamakan statusnya dengan anak kandung.
Anak angkat itu dibolehkan dalam Islam, tetapi sekedar
sebagai anak asuh, tidak boleh disamakan dengan status anak kandung, baik dari
segi pewarisan, hubungan mahram maupun wali dalam perkawinan.
Pada dasarnya hubungan antar manusia lebih-lebih di antara
orang beriman harus didasarkan pada kebutuhan untuk saling menolong dan
mencegah dari perbuatan buruk. Oleh karena itu, maka hubungan orang tua angkat
dengan anak angkat adalah hubungan yang didasarkan pada nilai saling tolong
menolong dan saling mencegah dari keburukan.
[1] Majhuddin, Masailul
Fiqh, (Jakarta : Kalam Mulia, 2003), hal. 90
[2] Muderis Zaini, Adopsi
(Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum), (Jakarta: Sinar Grafika, 1995),
hal. 4
[3] Maksudnya:
setelah habis idahnya.
[4] Yang dimaksud
dengan orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah Zaid bin
Haritsah. Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk
Islam. Nabi Muhammad pun telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakan
kaumnya dan mengangkatnya menjadi anak. ayat ini memberikan pengertian bahwa
orang boleh mengawini bekas isteri anak angkatnya.
[5] Op.Cit, Masailul
Fiqh, hal. 95
[6] Maula-maula
ialah seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yang telah
dijadikan anak angkat, seperti Salim anak angkat Huzaifah, dipanggil maula
Huzaifah.
[7] Muderis Zaini,
Adopsi (Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum), ( Jakarta: Sinar Grafika,
1995), hal. 54
[8] http://www.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/fatwa/10/06/13/119639-mengadopsi-anak-menurut-hukum-islam diakses pada
Jum’at 14 September 2012
0 comments
Post a Comment