Tuesday, April 30, 2013

ADOPSI (AL-TABANNI)

A. Pendahuluan
Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan alami. Namun, terkadang keinginan ini terbentur oleh takdil Ilahi , dimana kehendak untuk mempunyai anak tidak tercapai dikarenakan sesuatu hal. Akan tetapi, harus kita ingit, bahwa semua kuasa ada ditangan Allah SWT, manusia hanya bisa berusaha dan berdo’a. jika semuan usaha tidak mendapatkan hasil, maka jalan terakhir yang dapat dilakukan adalah mengangkat anak atau adopsi.
Mengadopsi anak adalah tradisi yang sudah ada sejak jaman jahiliyah dan dibenarkan di awal kedatangan Islam. Bahkan Rasulullah sendiri melakukannya, ketika beliau mengadopsi Zaid bin Haritsah sebelum beliau diutus Allah SWT sebagai Nabi dan Rasul.
Di Negara kita, mengadopsi anak susah menjadi fenomena yang sering kita jumpai di masyarakat kita. Adopsi dinilai sebagai perbuatan yang pantas dikerjakan oleh pasangan suami istri yang belum memiliki keturunan.      
Akan tetapi dikalangam masyarakat kita khususnya yang beragama Islam, tidak terlalu memahami tentang hukum-hukum yang berhubungan dengan anak angkat, misalnya manisbahkan anak angkat tersebut kepada orang tua angkatnya, manyamakannya dengan anak kandung sehingga tidak memperdulikan batas-batasan, menganggapnya berhak mendapat warisan seperti anak kandung, dan lain-lain. Padahal, syariat Islam telah menjelaskan dengan lengkap dan gamblang hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah anak angkat ini,
Berdasarkan Pendahuluan yang ada, maka kami mengangkat sebuah makalah dengan judul “Adopsi atau Al-Tabanni”. Semoga dengan adanya makalah ini dapat membantu mengembangkan dan memperluas cakrawala berfikir kita.
B.            Pengertian Adopsi
Adopsi beasal dari bahasa inggris “Adoption” yang artinya pengangkatan atau pemungutan. Sehingga sering dikatakan “Adoption of a child” yang artinya pengangkatan atau pemungutan anak.[1]
Dalam bahasa Arab disebut اتبنى  yang menurut Prof. Mahmud Yunus diartikan dengan “mengambil anak angkat”. Sedang dalam kamus Munjid diartikan  اتخذ ابنا  yaitu menjadikannya sebagai anak.[2]
Menurut Muderis, S.H, anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dengan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.
C.           Adopsi dalam hukum Islam
Islam menetapkan bahwa antara orang tua angkat dengan anak angkatnya tidak terdapat hubungan nasab, kecuali hanya hubungan kasih sayang dan hubungan tanggung jawab sebagai sesame manusia. Karena itu, antara keduanya bisa berhubungan tali perkawinan, misalnya Nabi Yusuf bisa mengawini ibu angkatnya (Zulaiha) mantan istri Raja Abul Aziz            (bapak angkat Nabi Yusuf).
Begitu juga halnya Rasulullah SAW, diperintahkan oleh Allah mengawini bekas istri Zaid sebagai anak angkatnya. Berarti antara Rasulullah dan Zaid, tidak ada hubungan nasab , kecuali hanya hubungan kasih sayang antara bapak angkat dengan anak angkatnya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Ahzab ayat 37, yang berbunyi :
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia[3] supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya[4] dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.
Islam telah membolehkan adopsi dengan ketentuan :[5]
1.    Larangan menisbatkan anak angkat kepada selain ayah kandungnya, berdasarkan firman Allah SWT, yang berbunyi :
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak merek, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu[6] dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Islam tidak melarang praktek adopsi, melainkan cara-cara pengadopsian yang mengandung manipulasi. Misalnya adopsi dengan cara anak angkat dinasabkan dan dipanggil dengan nama ayah angkatnya sehingga mengandung kebohongan baik terhadap anak maupun masyarakat. Rasulullah Saw memberikan larangan “Barang siapa yang mengaku nasab selain pada ayah (kandungnya sendiri), padahal ia mengetahui bahwa ia bukan ayahnya, maka baginya haram masuk surga.” (HR. Bukhari & Muslim)
2.    Anak angkat itu dibolehkan dalam Islam, tetapi sekedar sebagai anak asuh, tidak boleh disamakan dengan status anak kandung, baik dari segi pewarisan, hubungan mahram maupun wali dalam perkawinan.
3.    Karena anak angkat itu tidak berhak menerima harta warisan dari orang tua angkatnya, maka boleh mendapatkan harta benda dari orang tua angkatnya berupa hibah, yang maksimal sepertiga dari jumlah kekayaan orang tua angkatnya.
4.    Diperbolehkannya bagi bapak angkat untuk menikahi bekas istri anak angkatnya, berbeda dengan kebiasaan di jaman Jahiliyah.
Agama Islam mendorong seorang muslim untuk  memelihara anak orang lain yang tidak mampu, miskin, terlantar dan lain-lain. Tetapi tidak diperbolehkan memutus hubungan dan hak-hak lainnya dengan orang tua kandungnya. Pemeliharaan itu harus didasarkan atas penyantunan semata-mata , sesuai dengan anjuran Allah.
Yang harus diperhatikan adalah pengangkatan anak yaitu perlakuan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Dathurrohman dalam bukunya ilmu waris.[7]
“Pengambilan anak angkat ini menurut versi terakhir diatas adalah justru merupakan satu amal baik yang dilakukan oleh sebagian orang yang mampu lagi baik hati, yang tidak dianugrahi anak oleh Allah SWT. mereka mematrikannya dalam satu jenis pendekatan diri kepada Allah dengan mendidik anak-anak, si fakir yang terbengkalai dari kecintaan ayahnya atau ketidakmampuan orang tuanya, tidak diragukan lagi bahwa usaha-usaha semacam itu merupakan satu amal yang disukai dan dipuji oleh Allah SWT.
D.           Hak dan Kewajiban Orang Tua dan Anak Angkat
Dalam Islam, hubungan antara manusia adalah hubungan yang didasarkan pada saling tolong-menolong satu sama lain dalam kebaikan. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Maidah/5:2
 “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Ayat di atas menegaskan bahwa pada dasarnya hubungan antar manusia lebih-lebih di antara orang beriman harus didasarkan pada kebutuhan untuk saling menolong dan mencegah dari perbuatan buruk. Oleh karena itu, maka hubungan orang tua angkat dengan anak angkat adalah hubungan yang didasarkan pada nilai saling tolong menolong dan saling mencegah dari keburukan.
Setiap mu'min berfungsi sebagai auliya (penjaga, penolong) atas mu'min lainnya. Hubungan antara orang tua angkat dengan anak angkatnya adalah hubungan saling melindungi satu sama lain. Hal ini berarti bahwa pada prinsipnya siapa pun yang lebih kuat di antara kedua belah pihak tersebut, dia wajib menggunakan kekuatannya untuk menjaga dan menolong pihak lain. Secara ekonomi misalnya, ketika orangtua angkat kuat sementara anak angkat lemah, maka orang tua mempunyai kewajiban untuk menafkahi dan memenuhi kebutuhan hidup anak angkat. Apalagi faktor ekonomi inilah yang pada umumnya menjadi motivasi utama dalam pengangkatan anak. Namun, jika kondisi sebaliknya terjadi di kemudian hari di mana orangtua angkat secara ekonomi lebih lemah dari anak angkatnya yang telah sukses, maka anak angkat mempunyai kewajiban untuk menjaga dan menolong orang tua angkat mereka.[8]
Hak dan kewajiban lainnya yang harus dijaga di antara orangtua angkat dan anak angkatnya adalah menjaga silaturrahim (hubungan baik) antara anak angkat dengan keluarganya. Anak angkat tidak hanya berhak untuk mengetahui siapa orang tua yang sesungguhnya, namun ia juga berhak untuk menjalin hubungan baik dengan orangtua dan saudara-saudara kandungnya. Allah dan Rasulullah Saw melarang memutus tali silaturrahim seseorang dengan keluarga mereka, sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
ö@ygsù óOçFøŠ|¡tã bÎ) ÷LäêøŠ©9uqs? br& (#rßÅ¡øÿè? Îû ÇÚöF{$# (#þqãèÏeÜs)è?ur öNä3tB$ymör& ÇËËÈ  
 “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (QS Muhammad/ 47:22)

Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa yang memisahkan antara orang tua dan anaknya, maka Allah akan memisahkan antara dia dan orang-orang yang dikasihininya di hari kiamat kelak (HR. Imam Turmudzi).
Berdasarkan uraian di atas, maka hubungan adopsi dapat memberikan manfaat bagi kedua belah pihak dan keluarga masing-masing. Di satu sisi orang tua anak angkat membantu meringankan beban orangtua kandung yang mungkin mempunyai keterbatasan tertentu dalam menjalankan kewajiban sebagai orang tua. Di sisi lain anak angkat memberikan kebahagiaan kepada orang tua angkat yang mungkin karena sesuatu hal belum dikaruniai anak kandung.[9]
E.            Kesimpulan
Adopsi adalah seseorang yang mengangkat anak dari orang lain, kemudian ia memperlakukan anak tersebut sama dengan anak kandungnya, baik dari segi kasih sayang maupun nafkahya atau biaya hidup tanpa memandang perbedaan. Meskipun demikian agama tidak menganggap sebagai anak kandungnya, karena anak angkat tidak dapat disamakan statusnya dengan anak kandung.
Anak angkat itu dibolehkan dalam Islam, tetapi sekedar sebagai anak asuh, tidak boleh disamakan dengan status anak kandung, baik dari segi pewarisan, hubungan mahram maupun wali dalam perkawinan.
Pada dasarnya hubungan antar manusia lebih-lebih di antara orang beriman harus didasarkan pada kebutuhan untuk saling menolong dan mencegah dari perbuatan buruk. Oleh karena itu, maka hubungan orang tua angkat dengan anak angkat adalah hubungan yang didasarkan pada nilai saling tolong menolong dan saling mencegah dari keburukan.


[1] Majhuddin, Masailul Fiqh, (Jakarta : Kalam Mulia, 2003), hal. 90
[2] Muderis Zaini, Adopsi (Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum), (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 4
[3] Maksudnya: setelah habis  idahnya.
[4] Yang dimaksud dengan orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah Zaid bin Haritsah. Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk Islam. Nabi Muhammad pun telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakan kaumnya dan mengangkatnya menjadi anak. ayat ini memberikan pengertian bahwa orang boleh mengawini bekas isteri anak angkatnya.
[5] Op.Cit, Masailul Fiqh, hal. 95
[6] Maula-maula ialah seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yang telah dijadikan anak angkat, seperti Salim anak angkat Huzaifah, dipanggil maula Huzaifah.
[7] Muderis Zaini, Adopsi (Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum), ( Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 54

9http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/anak-angkat-dan-statusnya-dalam-islam.html diakses pada Jum’at 14 September 2012

0 comments

Post a Comment