A. Pendahuluan
Pada dasarnya Allah SWT
telah menciptakan manusia dengan sabaik-baik mahluk yaitu laki-laki dan
perempuan, yang mana keduanya memiliki peran masing-masing dan saling
melengkapi. Namun ada sebagian kelompok atau orang yang menyatakan dirinya
waria. Pada hakikatnya waria itu sendiri adalah orang yang mempunyai masalah
kebingungan tentang jenis kelamin atau yang lazim di sebut juga sebagai
transseksualisme ataupun transgender yang merupakan suatu gejala ketidakpuasan
karena tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan.
Eksfresinya bisa dalam bentuk dandanan, make up, gaya dan tingkah laku, bahkan sampai kepada operasi penggantian kelamin. Di dalam islam waria di sebut juga dengan Khuntsa. Ibnu Manzhur di dalam kamus Lisan Al Arab menyebutkan bahwa khuntsa adalah orang yang memiliki sekaligus apa yang di miliki oleh laki-laki dan perempuan, dan khuntsa adalah orang yang tidak murni (sempurna) sebagai laki-laki atau perempuan. Berdasarkan pengertian ini maka waria sama dengan khuntsa, hanya saja ada sebagian orang yang sengaja merubah penampilan mereka untuk berbagai alasan.
Dari pemaparan di atas, maka di dalam makalah ini kami tertarik untuk membahas tentang tinjauan hukum islam terhadap penggantian kelamin, yaitu pengertian waria (khuntsa), pengertian penggantian kelamin, dan tinjauan hukum islam terhadap penggantian kelamin.
Eksfresinya bisa dalam bentuk dandanan, make up, gaya dan tingkah laku, bahkan sampai kepada operasi penggantian kelamin. Di dalam islam waria di sebut juga dengan Khuntsa. Ibnu Manzhur di dalam kamus Lisan Al Arab menyebutkan bahwa khuntsa adalah orang yang memiliki sekaligus apa yang di miliki oleh laki-laki dan perempuan, dan khuntsa adalah orang yang tidak murni (sempurna) sebagai laki-laki atau perempuan. Berdasarkan pengertian ini maka waria sama dengan khuntsa, hanya saja ada sebagian orang yang sengaja merubah penampilan mereka untuk berbagai alasan.
Dari pemaparan di atas, maka di dalam makalah ini kami tertarik untuk membahas tentang tinjauan hukum islam terhadap penggantian kelamin, yaitu pengertian waria (khuntsa), pengertian penggantian kelamin, dan tinjauan hukum islam terhadap penggantian kelamin.
B.
Pengertian
Waria (Khuntsa)
Menurut istilah
As-Syaid dalam kitab Fiqh As Sunnah mengatakan bahwa : khuntsa adalah orang
yang tidak dapat di ketahui secara pasti apakah ia seorang laki-laki atau
seorang perempuan, karena ia sekaligus mempunyai alat kelamin laki-laki dan
perempuan.
Berdasarkan pengertian
tersebut dapat di simpulkan bahwa waria ataupun khuntsa adalah manusia yang
memang tidak sempurna baik secara fisik ataupun psikologis. Di dalam Al-Qur’an
allah telah telah menyebutkan tentang kejadian manusia, yaitu surah Al-Hajj
ayat 5 :
“Hai Manusia, jika kamu dalam keraguan tentang
kebangkitan (dari kubur) maka ketahuilah bahwasanya kami telah menjadikan kamu
dari tanah, kemudia dari setetes mani, kemudian dari segumpal daging yang
sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna agar kami jelaskan kepadamu, dan
kami tetapkan (sesudah itu) dalam rahim”.
Sehubungan dalam
penafsiran di atas, Dr. H. Ali Akbar menjelaskan penyebab adanya kelainan
kelamin itu karena tidak seimbangnya hormon-hormon yang terdapat di dalam tubuh
manusia. Walaupun laki-laki menghasilkan kelenjer laki-laki, tetapi juga di
dalam tubuhnya terdapat hormone-hormon perempuan. Begitu pula pada perempuan.
Jadi manusia yang tidak
ada kelainan dalam kejadiannya sama dengan laki-laki atau perempuan normal dan
di sebut مُّخَلَّقَةٍ Sedangkan yang memiliki kelainan dan
tidak sama dengan laki-laki atau perempuan normal maka ia adalah yang di sebut وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ
Menurut
Fuqaha khuntsa terbagi menjadi dua macam :
1.
Khuntsa Whafid, yaitu khuntsa yang dapat di hukumkan sebagai
laki-laki atau perempuan karena jenis kelamin, sifat-sifat dan tingkah lakunya,
yaitu sebelum balig dapat di ketahui dengan keluar kencingnya dengan alat
kelamin khusus bagi perempuan. Kemudian setelah balig, apa bila tumbuh
jenggotnya maka ia di hukumkan laki-laki, dan apa bila ia berpayu dara seperti
perempuan, haid, atau hamil maka ia di hukumkan perempuan.
2.
Khuntsa Musykil, yaitu manusia dalam bentuk tubuhnya ada keganjilan,
tidak dapat di ketahui apakah ia laki-laki atau perempuan, karena tidak ada
tanda-randa yang ditunjukkan atau samar-samar.
Tetapi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
sekarang ini, khuntsa musykil dapat diketahui kriterianya melalui ilmu dan
peralatan kedokteran.
Secara umum, transeksual
dapat diakibatkan faktor bawaan (hormon dan gen) dan faktor lingkungan. Faktor
lingkungan di antaranya pendidikan yang salah pada masa kecil dengan membiarkan
anak laki-laki berkembang dalam tingkah laku perempuan, pada masa pubertas
dengan homoseksual yang kecewa dan trauma, trauma pergaulan, suami atau istri.
Perlu dibedakan penyebab transseksual kejiwaan dan bawaan. Pada kasus
transseksual karena keseimbangan hormon yang menyimpang (bawaan),
menyeimbangkan kondisi hormonal guna mendekatkan kecenderungan biologis jenis
kelamin bisa dilakukan. Mereka yang sebenarnya normal karena tidak memiliki
kelainan genetikal maupun hormonal dan memiliki kecenderungan berpenampilan
lawan jenis hanya untuk memperturutkan dorongan kejiwaan dan nafsu adalah
sesuatu yang menyimpang dan bahkan tidak dibenarkan menurut syariat Islam.
Belakangan ini banyak fenomena orang yang sengaja merubah
penampilan menjadi waria kemudian berkeliaran di jalanan
untuk mengadu nasib khususnya di dunia perkotaan, bahkan ada di antara mereka
yang menodai atribut muslimah dengan ikut memakai kerudung. Selain itu
ironisnya, di media pertelevisian kita sepertinya justru ikut menyemarakkan dan
mensosialisasikan perilaku kebancian tersebut di berbagai program acara
talkshow, parodi maupun humor. Hal itu tentunya akan turut andil memberikan
legitimasi dan figur yang dapat ditiru masyarakat untuk mempermainkan jenis
kelamin atau bahkan perubahan orientasi dan kelainan seksual.
Dalam hukum Indonesia
sendiri belum ada ketentuan yang jelas mengatur mengenai kedudukan masalah
transseksual maupun kedudukan para waria. Padahal dengan semakin meningkatnya
globalisasi di dunia, masalah-masalah seperti ini semakin sering muncul.
C.
Pengertian Penggantian Kelamin
Dalam dunia kedokteran
modern sendiri, dikenal tiga bentuk operasi kelamin yaitu:
1.
Operasi penggantian jenis
kelamin, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki kelamin
normal;
2.
Operasi perbaikan atau
penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki
cacat kelamin, seperti alat kelamin yang tidak berlubang atau tidak sempurna;
3.
Operasi pembuangan salah
satu dari kelamin ganda, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir
memiliki dua organ/jenis kelamin.[1]
Secara garis besar
operasi ganti kelamin adalah operasi pembedahan untuk mengubah jenis kelamin
dari laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya. Pengubahan jenis kelamin
laki-laki menjadi perempuan dilakukan dengan memotong penis dan testis,
kemudian membentuk kelamin perempuan (vagina) dan membesarkan payudara. Sedang
pengubahan jenis kelamin perempuan menjadi laki-laki dilakukan dengan memotong
payudara, menutup saluran kelamin perempuan, dan menanamkan organ genital
laki-laki (penis). Operasi ini juga disertai pula dengan terapi psikologis dan
terapi hormonal.
D.
Kedudukan
Hukum Islam Terhadap Penggantian Kelamin
Islam memandang usaha
pengobatan atau penyembuhan jasmani merupakan alasan haram menjadi jaiz,
misalnya seorang dokter laki-laki yang harus memeriksa pasien seorang wanita
yang bukan muhrimnya, yang hukum asalnya adalah haram berubah menjadi jaiz
karena kondisi tertentu yaitu karena darurat. Dalam menjawab pertanyaan apakah
boleh melakukan operasi penggantian kelamin menurut hukum Islam, bergantung
pada dua hal, yaitu :
1.
Apakah operasi
itu akan membantu mempertegas identitas kelamin khuntsa itu, sebagai usaha
penyembuhan tubuh atau jasmani kearah penyembuhan rohani agar dapat melakukan
fungsi sesuai dengan fitrahnya.
2.
Ataukah operasi
itu justru membantu seseorang menghilangkan identitas kelaminnya untuk
bertasyabuh atau berserupa diri dengan lawan jenisnya, dengan sengaja untuk
mengingkari kedudukan hukum Islam, hak dan kewajiban serta tanggung jawabnya
menjadi berlawanan dengan fitrahnya.[2]
Kalau Seandainya jawabannya
sesuai dengan kreteria yang pertama maka operasi yang di lakukan itu akan
bernilai positif atau di perbolehkan dalam Islam. Tetapi kalau alasan yang di
pergunakan masuk ke kreteria yang kedua, yang hanya mengikuti hawa nafsu atau
hanya menyerupakan diri kepada lawan jenisnya jelas sudah bisa di katakan tidak
di perbolehkan atau haram dalam pandangan Islam.
Di dalam Al-Qur`an Allah SWT Berfirman pada surah An Nisaa
ayat 119 :
“dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka,
dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka
(memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar- benar
memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu
benar-benar mereka merubahnya. Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung
selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata”.[3]
Yang perlu di garis
bawahi pada ayat ini adalah “dan akan aku
suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya”.
Ayat ini menunjukkan upaya syaitan mengajak manusia untuk melakukan berbagai
perbuatan maksiat. Di antaranya mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah).
Operasi ganti kelamin termasuk mengubah ciptaan Allah, karena dalam operasi ini
terdapat tindakan memotong penis, testis, dan payudara. Maka operasi ganti
kelamin bisa di katakana hukumnya haram.
Rasulullah juga
menyatakan di dalam hadis riwayat Ibnu Abbas RA bahwa :”Rasulullah SAW
telah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan melaknat wanita yang menyerupai
laki-laki.” (HR Bukhari). Sudah sangat jelas Rasulullah menegaskan tentang
larangan perbuatan laki-laki menyerupai perempuan atau perbuatan perempuan yang
menyerupai laki-laki.
Masalah seseorang yang
ingin mengubah jenis kelaminnya sedangkan ia lahir dalam kondisi normal dan
sempurna organ kelaminnya dan bagi perempuan yang dilengkapi dengan rahim dan
ovarium, maka pada umumnya tidak dibolehkan atau banyak ditentang dan bahkan
diharamkan oleh syariat Islam untuk melakukan operasi kelamin. Ketetapan haram
ini sesuai dengan keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam
Musyawarah Nasional II tahun 1980 tentang Operasi Perubahan/ Penyempurnaan
kelamin. Menurut fatwa MUI ini sekalipun diubah jenis kelamin yang semula
normal kedudukan hukum jenis kelaminnya sama dengan jenis kelamin semula
sebelum diubah. Oleh karena itu kasus ini sebenarnya berakar dari kondisi
kesehatan mental yang penanganannya bukan dengan merubah ciptaan Tuhan
melainkan melalui pendekatan spiritual dan kejiwaan (spiritual and psychological
therapy).
Operasi ganti kelamin
juga merupakan dosa besar, yang berdosa bukan hanya orang yang dioperasi, tapi
juga semua pihak yang terlibat di dalam operasi itu, baik langsung atau tidak,
seperti dokter, para medis, psikiater, atau ahli hukum yang mengesahkan operasi
tersebut. Semuanya turut berdosa dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh
Allah pada Hari Kiamat kelak, karena mereka telah bertolong menolong dalam
berbuat dosa. Padahal Allah SWT berfirman yang artinya : “Dan janganlah
kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS Al-Maa`idah
ayat 2).
Jika operasi kelamin
yang dilakukan bersifat perbaikan atau penyempurnaan dan bukan penggantian
jenis kelamin, maka pada umumnya itu masih bisa dilakukan atau dibolehkan. Jika
kelamin seseorang tidak memiliki lubang yang berfungsi untuk mengeluarkan air
seni, maka operasi untuk memperbaiki atau menyempurnakannya dibolehkan bahkan
dianjurkan sehingga menjadi kelamin yang normal karena kelainan seperti ini
merupakan suatu penyakit yang harus diobati. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi
saw.:
“Berobatlah
wahai hamba-hamba Allah, Karena sesungguhnya Allah tidak mengadakan penyakit
kecuali mengadakan pula obatnya, kecuali satu penyakit, yaitu penyakit
ketuaan.” (HR. Ahmad).
Apabila seseorang
mempunyai alat kelamin ganda, maka untuk memperjelas dan memfungsikan secara
optimal dan definitif salah satu alat kelaminnya, ia boleh melakukan operasi
untuk ‘mematikan’ dan menghilangkan salah satu alat kelaminnya. Misalnya, jika
seseorang memiliki alat kelamin pria dan wanita, sedangkan pada bagian dalam
tubuhnya ia memiliki rahim dan ovarium yang menjadi ciri khas dan spesifikasi
utama jenis kelamin wanita, maka ia boleh menghilangkan alat kelamin prianya
untuk memfungsikan alat kelamin wanitanya dan dengan demikian mempertegas
identitasnya sebagai wanita. Hal ini dianjurkan syariat karena keberadaan zakar
yang berbeda dengan keadaan bagian dalamnya bisa mengganggu dan merugikan
dirinya sendiri baik dari segi hukum agama karena hak dan kewajibannya sulit
ditentukan apakah dikategorikan perempuan atau laki-laki maupun dari segi
kehidupan sosialnya. Dibolehkannya operasi perbaikan atau penyempurnaan
kelamin. Berdasarkan keumuman dalil yang menganjurkan berobat pada hadis Nabi
SAW : ”Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, kecuali Allah menurunkan pula
obatnya.” (HR Bukhari, no.5246). pengubahan kelamin pada orang yang memang
mempunyai kelamin ganda di perbolehkan karena dalam keadaan darurat atau tidak
sempurnanya ketika terlahir ke dunia. Hukum haram bisa saja berubah menjadi
mubah apabila dalam keadaan darurat, yaitu apabila mengenai hidup seseorang.
E.
Kesimpulan
Berdasarkan dari
pembahasan yang telah kami kemukakan di atas dapat di simpulkan bahwa di dalam
Islam tidak ada larangan dalam operasi penggantian kelamin, tetapi dengan
catatan karena memang ada suatu hal yang mengharuskannya untuk melakukan
operasi kelamin seperti orang yang mempunyai kelamin ganda atau terjadi suatu
hal yang berhubungan dengan pengobatan fisik, Operasi penggantian jenis kelamin
dapat dilakukan dengan catatan untuk memberikan penegasan status kepada subjek
yang bersangkutan dalam hal terjadi jenis kelamin ganda. Namun jika hanya untuk
menuruti kemauan dan hasrat seseorang, maka sebaiknya tidak dilakukan karena
pada dasarnya dengan melakukan hal itu berarti yang bersangkutan telah
menyalahi kodrat yang dianugerahkan Allah SWT kepadanya.
Masalah seseorang yang
ingin mengubah jenis kelaminnya sedangkan ia lahir dalam kondisi normal dan
sempurna organ kelaminnya dan bagi perempuan yang dilengkapi dengan rahim dan
ovarium, maka pada umumnya tidak dibolehkan atau banyak ditentang dan bahkan
diharamkan oleh syariat Islam untuk melakukan operasi kelamin. kasus ini
sebenarnya berakar dari kondisi kesehatan mental yang penanganannya bukan
dengan merubah ciptaan Tuhan melainkan melalui pendekatan spiritual dan
kejiwaan (spiritual and psychological therapy).
[1]http://asrinalaily.wordpress.com/2010/06/16/kedudukan-pergantian-jenis-kelamin-dalam-hukum-islam/
[2] H. Huzaimah
Tohido Yanggo, Masail Fiqhiyah Kajian
Hukum Islam Kontemporer, Bandung: Angkasa, 2006, Hal. 201.
[3] http://mignus.lifeme.net/t370-hukum-operasi-ganti-kelamin-dalam-islam. daiakses pada
tanggal 12 September 2012.
0 comments
Post a Comment