1.
Mencari Ilmu Adalah Kewajiban Individu
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مَسْلَمٍ
Artinya: “Menuntut Ilmu itu wajib bagi setiap muslim (HR. Ibnu
Majah)
2.
Kebahagiaan Dunia dan Akhirat Dapat Diraih Dengan Ilmu
مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ وَ مَنْ أَرَادَ ْالآخِرَةِ
فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ وَ مَنْ أَرَادَ هُمَا فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ
Artinya: Barangsiapa
yang menginginkan kehidupan dunia, mak ia harus memiliki ilmu, dan barang siapa
yang menginginkan kehidupan akhirat maka itupun harus dengan ilmu, dan barang
siapa yang menginginkan keduanya maka itupun harus dengan ilmu (HR.
Thabrani)
B.
Kosa kata
طَلَب :
Menuntut
الْعِلْمِ : Ilmu
كُلِّ : Setiap
مَنْ :
Siapa
أَرَاد :
Menginginkan
الدُّنْيَا :
Dunia
الآخِرَةِ:
Akhrat
C.
Penjelasan Hadits
1.
Mencari Ilmu Adalah Kewajiban Individu
Diantara sekian banyak nikmat Allah yang telah kita rasakan, ada
satu nikmat yang melandasi datangnya nikmat-nikmat yang lain, yaitu ilmu. Sebab
dengan ilmu, seseorang akan dapat memahami berbagai hal dan karena ilmu juga,
seseorang akan mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi di sisi Allah, juga di
kalangan manusia. Terutama jika disertai dengan keimanan dan ketakwaan kepada
Allah ‘Azza wa
Jalla. Baik dia seorang budak atau orang merdeka; seorang bawahan
atau atasan; seorang rakyat jelata ataupun para raja. Sebagaimana disebutkan
dalam firman-Nya
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) @Ï% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿt ª!$# öNä3s9 ( #sÎ)ur @Ï% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùöt ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4
ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz ÇÊÊÈ
Artinya:
Hai orang-orang
beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam
majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah
kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-Mujadillah:11)
Ilmu merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, masdar
dari ‘alima-ya’lamu yang berarti tahu atau mengetahui. Ilmu dalam bentuk
jamaknya adalah ‘ulum yang artinya adalah memahami sesuatu dengan hakikatnya,
dan itu berarti keyakinan dan pengetahuan.[1] Ilmu adalah
mengetahui sesuatu dengan yakin sesuai dengan pengetahuan yang sebenarnya.[2]
Ilmu adalah sayyidul
‘amal (penghulunya amal), sehingga tidak ada satu amalan pun yang
dilakukan tanpa didasari dengan ilmu. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah
kaidah yang telah disepakati ummat, “Ilmu
dahulu sebelum berkata dan berbuat.”[3]
Ilmu juga merupakan makanan pokok bagi jiwa, yang karenanya jiwa
akan menjadi hidup dan jasad akan memiliki adab. Oleh karena itu, Islam
mewajibkan ummatnya, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menuntut ilmu. Dan
hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
diatas
Tidak diragukan lagi bahwa kebutuhan seseorang terhadap ilmu lebih
besar dari kebutuhannya terhadap makan dan minum, seperti pernah dikatakan oleh
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, “Manusia sangat membutuhkan ilmu dari pada
(mereka) membutuhkan makanan dan minuman, karena makanan dan minuman hanya
dibutuhkan sehari sekali atau dua kali, sementara ilmu dibutuhkan sepanjang
nafasnya.”[4]
Tidak setiap ilmu boleh untuk dicari dan dipelajari, sebab ada ilmu
yang dilarang untuk dipelajari. Hanya ilmu yang bermanfaat sajalah yang boleh
untuk dicari dan dipelajari. Karena ilmu yang bermanfaat menempati kedudukan
yang terpuji, Hanya saja, tidak semua orang bisa mendapatkan manfaat dari ilmu
yang bermanfaat ini. Allah ‘Azza wa Jalla menyebutkan tentang
keadaan suatu kaum yang diberikan ilmu, tetapi ilmu yang ada pada mereka tidak
memberi manfaat sama sekali bagi mereka. Padahal, ilmu yang mereka miliki
adalah ilmu yang bermanfaat, namun demikian mereka tidak dapat mengambil
manfaat dari ilmu tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Jalla
Dzikruhu,
Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas
membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah
seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangatlah buruk
perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” (Qs. Al-Jumu’ah: 5)
Sedangkan ilmu yang tidak bermanfaat adalah ilmu yang menjadi
penyakit dalam agama dan memiliki kecenderungan untuk menjerumuskan manusia ke
dalam kesesatan, seperti ilmu kalam (logika), ilmu filsafat, dan semisalnya.
Selain itu, ada juga ilmu yang tercela, seperti ilmu sihir dan perdukunan. Ilmu
tersebut merupakan ilmu yang tidak bermanfaat bagi kehidupan manusia di dunia
apalagi di akhirat.[5]
Adapun pengertian dari ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang
diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada
Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam berupa keterangan dan petunjuk, dimana
mempelajari ilmu ini berhak mendapatkan pujian dan sanjungan.[6]
Adapun ilmu yang bersifat keduniawian, seperti ilmu kedokteran,
ilmu pertanian, ilmu ekonomi, dan yang lainnya, ada yang sangat dibutuhkan
ummat Muslim. Namun, ilmu-ilmu tersebut tidak termasuk dalam kategori ilmu
syar’i, sebagaimana disebutkan dalam dalil yang tercantum dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Karena itu, hukum menuntut ilmu duniawi tergantung kepada tujuan dan
kebutuhannya, apabila tujuannya adalah untuk ketaatan kepada Allah maka hal itu
akan menjadi baik dan apabila dengan mempelajarinya dapat memenuhi kebutuhan
kaum muslimin maka hal itu dapat menjadi wajib.[7]
Illmu ada yang 'aqli (bersumber dari akal, yang diperoleh dengan
percobaan yang berulang-ulang) dan ada yang sam'i (bersumber dari wahyu ilahi
yang cepat diperoleh dengan pasti tanpa ada percobaan dan keraguan).Menurut Syaikh Abdurrahman ibn Sa'di llmu dibagi
menjadi dua:[8]
1.
llmu
yang bermanfaat, yang dapat menjernihkan jiwa, men- didik akhlak yang mulia,
dan memperbaiki akidah, sehingga dapat menghasilkan amal saleh dan membuahkan
kebaikan yang banyak. llmu ini adalah ilmu syariat lslam dan penun-jangnya,
seperti bahasa Arab.
2.
llmu
yang tidak mendidik akhlak, tidak memperbaiki akal, dan tidak memperbaiki
akidah.
Hukum menuntut ilmu terbagi menjadi tiga, yaitu:[9]
Ø Fardhu
‘ain, dimana hukumnya adalah wajib untuk diketahui oleh setiap individu.
Ilmu yang tercakup dalam hukum ini adalah semua ilmu syar’i yang yang menjadi
pengetahuan dasar tentang agama, baik permasalahan ushul (asas) seperti akidah, tauhid
dan manhaj, sampai permasalahan furu’ (cabang) seperti shalat,
zakat, sedekah, haji, dan semisalnya.
Ø Fardhu
kifayah, dimana hukumnya tidak wajib atas setiap individu, sebab tidak
mungkin semua orang dapat mempelajarinya. Kalaupun diwajibkan atas setiap
individu, tidak semua orang dapat melakukannya, bahkan mungkin saja dapat
menghambat jalan hidup mereka. Oleh karena itu, hanya sebagian orang saja yang
diberi kemudahan oleh Allah untuk mempelajarinya dengan rahmat dan hikmah-Nya.
Apabila sebagian orang telah mengetahui dan mempelajarinya maka
gugurlah kewajiban lainnya. Namun, jika tidak ada seorang pun diantara mereka
yang mengetahui dan mempelajarinya, padahal mereka amat membutuhkan ilmu
tersebut maka mereka semua berdosa karenanya.
Contohnya adalah ilmu hadits, ilmu tafsir, ilmu waris, ilmu
kedokteran, ilmu pertanian, ilmu fiqih, ilmu pemerintahan, dan lain sebagainya.
Ø Haram,
dimana hukumnya terlarang untuk dicari dan dipelajari, karena akan membawa
pelakunya kepada kesesatan, kemaksiatan, bahkan kesyirikan kepada Allah Jalla wa
‘Ala. Diantara ilmu yang termasuk dalam hukum ini adalah ilmu
sihir.
Tidak ada perbedaan bagi laki-laki maupun perempuan, mulai
dari orang tua ataupun anak-anak; pejabat atau karyawan; si kaya atau si
miskin, semuanya sama dalam kewajiban menuntut ilmu syar’i yang bersumber dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena dengan ilmu tersebut, dia akan dapat mengetahui
dan mengamalkan berbagai amalan shalih dengan baik, yang amalan-amalan tersebut
akan dapat mengantarkannya ke Surga.
Dengan demikian, kita telah mengetahui bahwa ilmu
yang wajib untu dicari dan dipelajari oleh setiap Muslim adalah ilmu syar’i,
yaitu ilmu yang membahas tentang perkara-perkara agama, mulai dari perkara yang
berkaitan dengan hubungan seorang hamba dengan Rabbnya sampai perkara yang
berkaitan dengan hubungan seorang hamba dengan makhluk Rabbnya. Sementara untuk
ilmu keduniaan, meskipun termasuk ke dalam ilmu yang bermanfaat, namun hukum
mempelajarinya tidak sampai kepada wajib dan keutamaannya juga tidak setara
dengan keutamaan menuntut ilmu syar’i.[10]
2.
Kebahagiaan Dunia dan Akhirat Dapat Diraih Dengan Ilmu
Siapa yang tidak menginginkan kebahagiaan dunia dan akhirat? Kita
semua tentu menginginkannya. Hanya yang perlu untuk kita pertanyakan bagaimana
cara untuk meraih keduanya. Sementara, kita yakini bersama bahwa Islam adalah
agama yang ajarannya universal (menyeluruh). Islam satu-satunya agama yang
mendapatkan legitimasi (pengakuan) dari Sang Pemiliknya yaitu Allah 'azza wa
jalla.
Islam adalah agama yang rahmatan lil alamiin. Tidak didapatkan satu
ajaran pun dalam Islam yang merugikan para pemeluknya, tidak ditemukan satu
prinsip pun dalam Islam yang mencelakakan para penganutnya. Tetapi pada
kenyataannya banyak kalangan yang hanya menitikberatkan perhatiannya pada dunia
dan bagaimana cara untuk mendapatkannya.
Tidak diragukan lagi bahwa ilmu adalah salah satu faktor terpenting
untuk menggapai kebahagiaan di dunia dan di akherat kelak sebagaimana sabda
Rasulullah SAW diatas.
Ilmu
harus dibarengi dengan amal sholeh, Beramal tanpa berilmu sangat tidak
rasional bagaikan kapal yang diombang ambingkan gelombang ditengah samudera
luas sementara keinginan untuk cepat sampai ke daratan sangatlah tinggi, maka
hanya mukzizat Allahlah yang paling berperan ketika itu. Begitu juga dalam
kehidupan ini, ibadah bukan hanya sekedar berdiri, rukuk, maupun sujud dalam
shalat saja. Namun, setiap dirii akan dituntut untuk melaksanakan apa
sesungguhnya hikmah dibalik perintah shalat itu , begitu juga ibadah-ibadah
lainnya selain menunaikannya dengan ikhlas perealisasian dari hikmah yang
terkandung didalamnya harus menjadi prioritas utama dan tidak bisa di
kesampingkan sama sekali. Jelasnya raihlah keinginan dunia akhirat itu
sebanyak-banyaknya dan imbangi ilmu itu dengan amaliah ikhlas dan penuh
kekhusyukkan. Intinya manusia dapat menilai dan melakukan sesuatu dengan cermat
dan hati-hati dan tidak ada kebajikan dalam ibadah kecuali diiringi dengan
tafakur,tawakal, maupun perbuatan makruf lainnya. [11]
Orang yang selalu menggunakan ilmu dan pemikiran akan menghasilkan ladang
amal dan akan selalu menjaga amalannya itu dari perbuatan-perbuatan tercela
dalam hidup bersosialisasi dalam masyarakatnya. Sedangkan orang yang beramal
tanpa dilandasi ilmu dan pemikiran, jelas akan diombang ambingkan oleh hawa
nafsu sehingga akan melahirkan kerugian dan kesia-siaan dalam amaliah tersebut.
Seorang yang berilmu (‘alim) memiliki keutamaan yang
lebih besar dari pada seorang ahli ibadah (‘abid). Dan keutamaan yang
diperolehnya ini semata-mata karena ilmu yang dimilikinya. Sebagaimana pernah
disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Artinya: “Keutamaan ilmu adalah lebih baik dari pada
keutamaan ibadah. Dan sebaik-baik agama kalian adalah ketakwaan.”
(HR.Ath-Thabrani )
Seorang yang berilmu tidak hanya menjalin hubungan antar dirinya
dengan Rabbnya, melainkan dia juga menjalin hubungan dengan sesamanya melalui
ilmunya, yakni dengan cara menyampaikan ilmu yang dimilikinya. Lain halnya dengan
seorang ahli ibadah, yang dia mendirikan shalat, menjalankan puasa, dan
semisalnya, hanya terjadi antar dirinya dengan Rabbnya. Akan tetapi, seorang
yang berilmu dan menyampaikan ilmunya kepada orang lain, sesungguhnya dia tidak
hanya membawa manfaat untuk dirinya sendiri, tetapi dia juga memberikan manfaat
untuk orang lain.[12]
[1]
http://arvinradcliffe.blogspot.com/2012/06/ilmu-dan-amal-shaleh.html
[2] Yazid bin
Abdul Qadir Jawas , Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga
(Bogor: Pustaka At-Taqwa, T.th) hal. 16
[3]
http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/nikmatnya-menuntut-ilmu.html
[4] Yazid bin
Abdul Qadir Jawas , Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga
(Bogor: Pustaka At-Taqwa, T.th) hal. 56
[5]
http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/nikmatnya-menuntut-ilmu.html
[6] Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin, Kitab Al-‘Ilmi (Riyadh: Daar
Ats-Tsurayya, t.th) hal. 13
[7] Ibid. hal 13
[8] Habib
Syarif Muhammad Alaydrus, Agar Hidup
Selalu Berkah(Jakarta:Mizaan Media Utama, 2010) Hal. 345
[9]
http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/nikmatnya-menuntut-ilmu.html
[10]
http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/nikmatnya-menuntut-ilmu.html
[11]
http://arvinradcliffe.blogspot.com/2012/06/ilmu-dan-amal-shaleh.html
[12]
http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/nikmatnya-menuntut-ilmu-bagian-2.html
0 comments
Post a Comment