Mahasiswa KI'2010 Part 1

(A. Syaddad, Andi Munadi, Ari Maulana, Bakti Hamdani, Bayu Agung S, Darul Zulfi) (Desy Anggraini, Eka Febriyanti, Emelia Ikhsana, Fatkurohmanudin, Fitriani, Hepni Efendi)

Mahasiswa KI'2010 Part 2

(Imam Adi M, Intan Safitri, Joko Suseno, Lisda Nur A, Masnan, Muammar) (Mudfirudin, M Hasan Basri, M Akbar, M Fadliansyah, M Rasyid Ridho, Nanda Fajrul H)

Mahasiswa KI'2010 Part 3

(Normila, Nur Sodik, Nurul Qomariah, Puji Wulandari, Rab'ul Habibi, Ridho M.P) (Salasiah, Sitti Fatimah, Siwid Sutian, Taryuni, Titis Ratna Sari, Verdy Evansyah)

Mahasiswa KI'2010 Part 4

(Wahyu Fajriyadi, Zuhrotul Husniah, Akhsanul Khair, Eka Patmawati, Siti Hadijah, Siti Kholifah) (Najmatul Hilal, Aan Yusuf K, Indra Lukman, Ibrahim, A. Durori)

Tuesday, April 30, 2013

ADOPSI (AL-TABANNI)

A. Pendahuluan
Keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan alami. Namun, terkadang keinginan ini terbentur oleh takdil Ilahi , dimana kehendak untuk mempunyai anak tidak tercapai dikarenakan sesuatu hal. Akan tetapi, harus kita ingit, bahwa semua kuasa ada ditangan Allah SWT, manusia hanya bisa berusaha dan berdo’a. jika semuan usaha tidak mendapatkan hasil, maka jalan terakhir yang dapat dilakukan adalah mengangkat anak atau adopsi.
Mengadopsi anak adalah tradisi yang sudah ada sejak jaman jahiliyah dan dibenarkan di awal kedatangan Islam. Bahkan Rasulullah sendiri melakukannya, ketika beliau mengadopsi Zaid bin Haritsah sebelum beliau diutus Allah SWT sebagai Nabi dan Rasul.
Di Negara kita, mengadopsi anak susah menjadi fenomena yang sering kita jumpai di masyarakat kita. Adopsi dinilai sebagai perbuatan yang pantas dikerjakan oleh pasangan suami istri yang belum memiliki keturunan.      
Akan tetapi dikalangam masyarakat kita khususnya yang beragama Islam, tidak terlalu memahami tentang hukum-hukum yang berhubungan dengan anak angkat, misalnya manisbahkan anak angkat tersebut kepada orang tua angkatnya, manyamakannya dengan anak kandung sehingga tidak memperdulikan batas-batasan, menganggapnya berhak mendapat warisan seperti anak kandung, dan lain-lain. Padahal, syariat Islam telah menjelaskan dengan lengkap dan gamblang hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah anak angkat ini,
Berdasarkan Pendahuluan yang ada, maka kami mengangkat sebuah makalah dengan judul “Adopsi atau Al-Tabanni”. Semoga dengan adanya makalah ini dapat membantu mengembangkan dan memperluas cakrawala berfikir kita.
B.            Pengertian Adopsi
Adopsi beasal dari bahasa inggris “Adoption” yang artinya pengangkatan atau pemungutan. Sehingga sering dikatakan “Adoption of a child” yang artinya pengangkatan atau pemungutan anak.[1]
Dalam bahasa Arab disebut اتبنى  yang menurut Prof. Mahmud Yunus diartikan dengan “mengambil anak angkat”. Sedang dalam kamus Munjid diartikan  اتخذ ابنا  yaitu menjadikannya sebagai anak.[2]
Menurut Muderis, S.H, anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dengan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.
C.           Adopsi dalam hukum Islam
Islam menetapkan bahwa antara orang tua angkat dengan anak angkatnya tidak terdapat hubungan nasab, kecuali hanya hubungan kasih sayang dan hubungan tanggung jawab sebagai sesame manusia. Karena itu, antara keduanya bisa berhubungan tali perkawinan, misalnya Nabi Yusuf bisa mengawini ibu angkatnya (Zulaiha) mantan istri Raja Abul Aziz            (bapak angkat Nabi Yusuf).
Begitu juga halnya Rasulullah SAW, diperintahkan oleh Allah mengawini bekas istri Zaid sebagai anak angkatnya. Berarti antara Rasulullah dan Zaid, tidak ada hubungan nasab , kecuali hanya hubungan kasih sayang antara bapak angkat dengan anak angkatnya. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Ahzab ayat 37, yang berbunyi :
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia[3] supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya[4] dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.
Islam telah membolehkan adopsi dengan ketentuan :[5]
1.    Larangan menisbatkan anak angkat kepada selain ayah kandungnya, berdasarkan firman Allah SWT, yang berbunyi :
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak merek, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu[6] dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Islam tidak melarang praktek adopsi, melainkan cara-cara pengadopsian yang mengandung manipulasi. Misalnya adopsi dengan cara anak angkat dinasabkan dan dipanggil dengan nama ayah angkatnya sehingga mengandung kebohongan baik terhadap anak maupun masyarakat. Rasulullah Saw memberikan larangan “Barang siapa yang mengaku nasab selain pada ayah (kandungnya sendiri), padahal ia mengetahui bahwa ia bukan ayahnya, maka baginya haram masuk surga.” (HR. Bukhari & Muslim)
2.    Anak angkat itu dibolehkan dalam Islam, tetapi sekedar sebagai anak asuh, tidak boleh disamakan dengan status anak kandung, baik dari segi pewarisan, hubungan mahram maupun wali dalam perkawinan.
3.    Karena anak angkat itu tidak berhak menerima harta warisan dari orang tua angkatnya, maka boleh mendapatkan harta benda dari orang tua angkatnya berupa hibah, yang maksimal sepertiga dari jumlah kekayaan orang tua angkatnya.
4.    Diperbolehkannya bagi bapak angkat untuk menikahi bekas istri anak angkatnya, berbeda dengan kebiasaan di jaman Jahiliyah.
Agama Islam mendorong seorang muslim untuk  memelihara anak orang lain yang tidak mampu, miskin, terlantar dan lain-lain. Tetapi tidak diperbolehkan memutus hubungan dan hak-hak lainnya dengan orang tua kandungnya. Pemeliharaan itu harus didasarkan atas penyantunan semata-mata , sesuai dengan anjuran Allah.
Yang harus diperhatikan adalah pengangkatan anak yaitu perlakuan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan segala kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak kandungnya sendiri. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Dathurrohman dalam bukunya ilmu waris.[7]
“Pengambilan anak angkat ini menurut versi terakhir diatas adalah justru merupakan satu amal baik yang dilakukan oleh sebagian orang yang mampu lagi baik hati, yang tidak dianugrahi anak oleh Allah SWT. mereka mematrikannya dalam satu jenis pendekatan diri kepada Allah dengan mendidik anak-anak, si fakir yang terbengkalai dari kecintaan ayahnya atau ketidakmampuan orang tuanya, tidak diragukan lagi bahwa usaha-usaha semacam itu merupakan satu amal yang disukai dan dipuji oleh Allah SWT.
D.           Hak dan Kewajiban Orang Tua dan Anak Angkat
Dalam Islam, hubungan antara manusia adalah hubungan yang didasarkan pada saling tolong-menolong satu sama lain dalam kebaikan. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Maidah/5:2
 “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Ayat di atas menegaskan bahwa pada dasarnya hubungan antar manusia lebih-lebih di antara orang beriman harus didasarkan pada kebutuhan untuk saling menolong dan mencegah dari perbuatan buruk. Oleh karena itu, maka hubungan orang tua angkat dengan anak angkat adalah hubungan yang didasarkan pada nilai saling tolong menolong dan saling mencegah dari keburukan.
Setiap mu'min berfungsi sebagai auliya (penjaga, penolong) atas mu'min lainnya. Hubungan antara orang tua angkat dengan anak angkatnya adalah hubungan saling melindungi satu sama lain. Hal ini berarti bahwa pada prinsipnya siapa pun yang lebih kuat di antara kedua belah pihak tersebut, dia wajib menggunakan kekuatannya untuk menjaga dan menolong pihak lain. Secara ekonomi misalnya, ketika orangtua angkat kuat sementara anak angkat lemah, maka orang tua mempunyai kewajiban untuk menafkahi dan memenuhi kebutuhan hidup anak angkat. Apalagi faktor ekonomi inilah yang pada umumnya menjadi motivasi utama dalam pengangkatan anak. Namun, jika kondisi sebaliknya terjadi di kemudian hari di mana orangtua angkat secara ekonomi lebih lemah dari anak angkatnya yang telah sukses, maka anak angkat mempunyai kewajiban untuk menjaga dan menolong orang tua angkat mereka.[8]
Hak dan kewajiban lainnya yang harus dijaga di antara orangtua angkat dan anak angkatnya adalah menjaga silaturrahim (hubungan baik) antara anak angkat dengan keluarganya. Anak angkat tidak hanya berhak untuk mengetahui siapa orang tua yang sesungguhnya, namun ia juga berhak untuk menjalin hubungan baik dengan orangtua dan saudara-saudara kandungnya. Allah dan Rasulullah Saw melarang memutus tali silaturrahim seseorang dengan keluarga mereka, sebagaimana firman Allah SWT yang berbunyi:
ö@ygsù óOçFøŠ|¡tã bÎ) ÷LäêøŠ©9uqs? br& (#rßÅ¡øÿè? Îû ÇÚöF{$# (#þqãèÏeÜs)è?ur öNä3tB$ymör& ÇËËÈ  
 “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (QS Muhammad/ 47:22)

Rasulullah Saw bersabda: Barangsiapa yang memisahkan antara orang tua dan anaknya, maka Allah akan memisahkan antara dia dan orang-orang yang dikasihininya di hari kiamat kelak (HR. Imam Turmudzi).
Berdasarkan uraian di atas, maka hubungan adopsi dapat memberikan manfaat bagi kedua belah pihak dan keluarga masing-masing. Di satu sisi orang tua anak angkat membantu meringankan beban orangtua kandung yang mungkin mempunyai keterbatasan tertentu dalam menjalankan kewajiban sebagai orang tua. Di sisi lain anak angkat memberikan kebahagiaan kepada orang tua angkat yang mungkin karena sesuatu hal belum dikaruniai anak kandung.[9]
E.            Kesimpulan
Adopsi adalah seseorang yang mengangkat anak dari orang lain, kemudian ia memperlakukan anak tersebut sama dengan anak kandungnya, baik dari segi kasih sayang maupun nafkahya atau biaya hidup tanpa memandang perbedaan. Meskipun demikian agama tidak menganggap sebagai anak kandungnya, karena anak angkat tidak dapat disamakan statusnya dengan anak kandung.
Anak angkat itu dibolehkan dalam Islam, tetapi sekedar sebagai anak asuh, tidak boleh disamakan dengan status anak kandung, baik dari segi pewarisan, hubungan mahram maupun wali dalam perkawinan.
Pada dasarnya hubungan antar manusia lebih-lebih di antara orang beriman harus didasarkan pada kebutuhan untuk saling menolong dan mencegah dari perbuatan buruk. Oleh karena itu, maka hubungan orang tua angkat dengan anak angkat adalah hubungan yang didasarkan pada nilai saling tolong menolong dan saling mencegah dari keburukan.


[1] Majhuddin, Masailul Fiqh, (Jakarta : Kalam Mulia, 2003), hal. 90
[2] Muderis Zaini, Adopsi (Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum), (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 4
[3] Maksudnya: setelah habis  idahnya.
[4] Yang dimaksud dengan orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah Zaid bin Haritsah. Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk Islam. Nabi Muhammad pun telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakan kaumnya dan mengangkatnya menjadi anak. ayat ini memberikan pengertian bahwa orang boleh mengawini bekas isteri anak angkatnya.
[5] Op.Cit, Masailul Fiqh, hal. 95
[6] Maula-maula ialah seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yang telah dijadikan anak angkat, seperti Salim anak angkat Huzaifah, dipanggil maula Huzaifah.
[7] Muderis Zaini, Adopsi (Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum), ( Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hal. 54

9http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/anak-angkat-dan-statusnya-dalam-islam.html diakses pada Jum’at 14 September 2012

PENGGANTIAN KELAMIN

A. Pendahuluan
Pada dasarnya Allah SWT telah menciptakan manusia dengan sabaik-baik mahluk yaitu laki-laki dan perempuan, yang mana keduanya memiliki peran masing-masing dan saling melengkapi. Namun ada sebagian kelompok atau orang yang menyatakan dirinya waria. Pada hakikatnya waria itu sendiri adalah orang yang mempunyai masalah kebingungan tentang jenis kelamin atau yang lazim di sebut juga sebagai transseksualisme ataupun transgender yang merupakan suatu gejala ketidakpuasan karena tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan.
Eksfresinya bisa dalam bentuk dandanan, make up, gaya dan tingkah laku, bahkan sampai kepada operasi penggantian kelamin. Di dalam islam waria di sebut juga dengan Khuntsa. Ibnu Manzhur di dalam kamus Lisan Al Arab menyebutkan bahwa khuntsa adalah orang yang memiliki sekaligus apa yang di miliki oleh laki-laki dan perempuan, dan khuntsa adalah orang yang tidak murni (sempurna) sebagai laki-laki atau perempuan. Berdasarkan pengertian ini maka waria sama dengan khuntsa, hanya  saja ada sebagian orang yang sengaja merubah penampilan mereka untuk berbagai alasan.
Dari pemaparan di atas, maka di dalam makalah ini kami tertarik untuk membahas tentang tinjauan hukum islam terhadap penggantian kelamin, yaitu pengertian waria (khuntsa), pengertian penggantian kelamin, dan tinjauan hukum islam terhadap penggantian kelamin.
B.            Pengertian Waria (Khuntsa)
Menurut istilah As-Syaid dalam kitab Fiqh As Sunnah mengatakan bahwa : khuntsa adalah orang yang tidak dapat di ketahui secara pasti apakah ia seorang laki-laki atau seorang perempuan, karena ia sekaligus mempunyai alat kelamin laki-laki dan perempuan.
Berdasarkan pengertian tersebut dapat di simpulkan bahwa waria ataupun khuntsa adalah manusia yang memang tidak sempurna baik secara fisik ataupun psikologis. Di dalam Al-Qur’an allah telah telah menyebutkan tentang kejadian manusia, yaitu surah Al-Hajj ayat 5 :

 “Hai Manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur) maka ketahuilah bahwasanya kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudia dari setetes mani, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna agar kami jelaskan kepadamu, dan kami tetapkan (sesudah itu) dalam rahim”.
Sehubungan dalam penafsiran di atas, Dr. H. Ali Akbar menjelaskan penyebab adanya kelainan kelamin itu karena tidak seimbangnya hormon-hormon yang terdapat di dalam tubuh manusia. Walaupun laki-laki menghasilkan kelenjer laki-laki, tetapi juga di dalam tubuhnya terdapat hormone-hormon perempuan. Begitu pula pada perempuan.
Jadi manusia yang tidak ada kelainan dalam kejadiannya sama dengan laki-laki atau perempuan normal dan di sebut مُّخَلَّقَةٍ    Sedangkan yang memiliki kelainan dan tidak sama dengan laki-laki atau perempuan normal maka ia adalah yang di sebut وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ  
Menurut Fuqaha khuntsa terbagi menjadi dua macam :
1.             Khuntsa Whafid, yaitu khuntsa yang dapat di hukumkan sebagai laki-laki atau perempuan karena jenis kelamin, sifat-sifat dan tingkah lakunya, yaitu sebelum balig dapat di ketahui dengan keluar kencingnya dengan alat kelamin khusus bagi perempuan. Kemudian setelah balig, apa bila tumbuh jenggotnya maka ia di hukumkan laki-laki, dan apa bila ia berpayu dara seperti perempuan, haid, atau hamil maka ia di hukumkan perempuan.
2.             Khuntsa Musykil, yaitu manusia dalam bentuk tubuhnya ada keganjilan, tidak dapat di ketahui apakah ia laki-laki atau perempuan, karena tidak ada tanda-randa yang ditunjukkan atau samar-samar.
Tetapi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini, khuntsa musykil dapat diketahui kriterianya melalui ilmu dan peralatan kedokteran.
Secara umum, transeksual dapat diakibatkan faktor bawaan (hormon dan gen) dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan di antaranya pendidikan yang salah pada masa kecil dengan membiarkan anak laki-laki berkembang dalam tingkah laku perempuan, pada masa pubertas dengan homoseksual yang kecewa dan trauma, trauma pergaulan, suami atau istri. Perlu dibedakan penyebab transseksual kejiwaan dan bawaan. Pada kasus transseksual karena keseimbangan hormon yang menyimpang (bawaan), menyeimbangkan kondisi hormonal guna mendekatkan kecenderungan biologis jenis kelamin bisa dilakukan. Mereka yang sebenarnya normal karena tidak memiliki kelainan genetikal maupun hormonal dan memiliki kecenderungan berpenampilan lawan jenis hanya untuk memperturutkan dorongan kejiwaan dan nafsu adalah sesuatu yang menyimpang dan bahkan tidak dibenarkan menurut syariat Islam.
Belakangan ini banyak fenomena orang yang sengaja merubah penampilan menjadi waria kemudian berkeliaran di jalanan untuk mengadu nasib khususnya di dunia perkotaan, bahkan ada di antara mereka yang menodai atribut muslimah dengan ikut memakai kerudung. Selain itu ironisnya, di media pertelevisian kita sepertinya justru ikut menyemarakkan dan mensosialisasikan perilaku kebancian tersebut di berbagai program acara talkshow, parodi maupun humor. Hal itu tentunya akan turut andil memberikan legitimasi dan figur yang dapat ditiru masyarakat untuk mempermainkan jenis kelamin atau bahkan perubahan orientasi dan kelainan seksual.
Dalam hukum Indonesia sendiri belum ada ketentuan yang jelas mengatur mengenai kedudukan masalah transseksual maupun kedudukan para waria. Padahal dengan semakin meningkatnya globalisasi di dunia, masalah-masalah seperti ini semakin sering muncul.
C.           Pengertian Penggantian Kelamin
Dalam dunia kedokteran modern sendiri, dikenal tiga bentuk operasi kelamin yaitu:
1.             Operasi penggantian jenis kelamin, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki kelamin normal;
2.             Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti alat kelamin yang tidak berlubang atau tidak sempurna;
3.             Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua organ/jenis kelamin.[1]
Secara garis besar operasi ganti kelamin adalah operasi pembedahan untuk mengubah jenis kelamin dari laki-laki menjadi perempuan atau sebaliknya. Pengubahan jenis kelamin laki-laki menjadi perempuan dilakukan dengan memotong penis dan testis, kemudian membentuk kelamin perempuan (vagina) dan membesarkan payudara. Sedang pengubahan jenis kelamin perempuan menjadi laki-laki dilakukan dengan memotong payudara, menutup saluran kelamin perempuan, dan menanamkan organ genital laki-laki (penis). Operasi ini juga disertai pula dengan terapi psikologis dan terapi hormonal.

D.           Kedudukan Hukum Islam Terhadap Penggantian Kelamin
Islam memandang usaha pengobatan atau penyembuhan jasmani merupakan alasan haram menjadi jaiz, misalnya seorang dokter laki-laki yang harus memeriksa pasien seorang wanita yang bukan muhrimnya, yang hukum asalnya adalah haram berubah menjadi jaiz karena kondisi tertentu yaitu karena darurat. Dalam menjawab pertanyaan apakah boleh melakukan operasi penggantian kelamin menurut hukum Islam, bergantung pada dua hal, yaitu :
1.             Apakah operasi itu akan membantu mempertegas identitas kelamin khuntsa itu, sebagai usaha penyembuhan tubuh atau jasmani kearah penyembuhan rohani agar dapat melakukan fungsi sesuai dengan fitrahnya.
2.             Ataukah operasi itu justru membantu seseorang menghilangkan identitas kelaminnya untuk bertasyabuh atau berserupa diri dengan lawan jenisnya, dengan sengaja untuk mengingkari kedudukan hukum Islam, hak dan kewajiban serta tanggung jawabnya menjadi berlawanan dengan fitrahnya.[2]
Kalau Seandainya jawabannya sesuai dengan kreteria yang pertama maka operasi yang di lakukan itu akan bernilai positif atau di perbolehkan dalam Islam. Tetapi kalau alasan yang di pergunakan masuk ke kreteria yang kedua, yang hanya mengikuti hawa nafsu atau hanya menyerupakan diri kepada lawan jenisnya jelas sudah bisa di katakan tidak di perbolehkan atau haram dalam pandangan Islam.
Di dalam Al-Qur`an Allah SWT Berfirman pada surah An Nisaa ayat 119 :
 “dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar- benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya. Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata”.[3]
Yang perlu di garis bawahi pada ayat ini adalah “dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya”. Ayat ini menunjukkan upaya syaitan mengajak manusia untuk melakukan berbagai perbuatan maksiat. Di antaranya mengubah ciptaan Allah (taghyir khalqillah). Operasi ganti kelamin termasuk mengubah ciptaan Allah, karena dalam operasi ini terdapat tindakan memotong penis, testis, dan payudara. Maka operasi ganti kelamin bisa di katakana hukumnya haram.
Rasulullah juga menyatakan di dalam hadis riwayat Ibnu Abbas RA bahwa :”Rasulullah SAW telah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan melaknat wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR Bukhari). Sudah sangat jelas Rasulullah menegaskan tentang larangan perbuatan laki-laki menyerupai perempuan atau perbuatan perempuan yang menyerupai laki-laki.
Masalah seseorang yang ingin mengubah jenis kelaminnya sedangkan ia lahir dalam kondisi normal dan sempurna organ kelaminnya dan bagi perempuan yang dilengkapi dengan rahim dan ovarium, maka pada umumnya tidak dibolehkan atau banyak ditentang dan bahkan diharamkan oleh syariat Islam untuk melakukan operasi kelamin. Ketetapan haram ini sesuai dengan keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980 tentang Operasi Perubahan/ Penyempurnaan kelamin. Menurut fatwa MUI ini sekalipun diubah jenis kelamin yang semula normal kedudukan hukum jenis kelaminnya sama dengan jenis kelamin semula sebelum diubah. Oleh karena itu kasus ini sebenarnya berakar dari kondisi kesehatan mental yang penanganannya bukan dengan merubah ciptaan Tuhan melainkan melalui pendekatan spiritual dan kejiwaan (spiritual and psychological therapy).
Operasi ganti kelamin juga merupakan dosa besar, yang berdosa bukan hanya orang yang dioperasi, tapi juga semua pihak yang terlibat di dalam operasi itu, baik langsung atau tidak, seperti dokter, para medis, psikiater, atau ahli hukum yang mengesahkan operasi tersebut. Semuanya turut berdosa dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah pada Hari Kiamat kelak, karena mereka telah bertolong menolong dalam berbuat dosa. Padahal Allah SWT berfirman yang artinya : “Dan janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS Al-Maa`idah ayat 2).
Jika operasi kelamin yang dilakukan bersifat perbaikan atau penyempurnaan dan bukan penggantian jenis kelamin, maka pada umumnya itu masih bisa dilakukan atau dibolehkan. Jika kelamin seseorang tidak memiliki lubang yang berfungsi untuk mengeluarkan air seni, maka operasi untuk memperbaiki atau menyempurnakannya dibolehkan bahkan dianjurkan sehingga menjadi kelamin yang normal karena kelainan seperti ini merupakan suatu penyakit yang harus diobati. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi saw.:
 “Berobatlah wahai hamba-hamba Allah, Karena sesungguhnya Allah tidak mengadakan penyakit kecuali mengadakan pula obatnya, kecuali satu penyakit, yaitu penyakit ketuaan.” (HR. Ahmad).
Apabila seseorang mempunyai alat kelamin ganda, maka untuk memperjelas dan memfungsikan secara optimal dan definitif salah satu alat kelaminnya, ia boleh melakukan operasi untuk ‘mematikan’ dan menghilangkan salah satu alat kelaminnya. Misalnya, jika seseorang memiliki alat kelamin pria dan wanita, sedangkan pada bagian dalam tubuhnya ia memiliki rahim dan ovarium yang menjadi ciri khas dan spesifikasi utama jenis kelamin wanita, maka ia boleh menghilangkan alat kelamin prianya untuk memfungsikan alat kelamin wanitanya dan dengan demikian mempertegas identitasnya sebagai wanita. Hal ini dianjurkan syariat karena keberadaan zakar yang berbeda dengan keadaan bagian dalamnya bisa mengganggu dan merugikan dirinya sendiri baik dari segi hukum agama karena hak dan kewajibannya sulit ditentukan apakah dikategorikan perempuan atau laki-laki maupun dari segi kehidupan sosialnya. Dibolehkannya operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin. Berdasarkan keumuman dalil yang menganjurkan berobat pada hadis Nabi SAW : ”Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, kecuali Allah menurunkan pula obatnya.” (HR Bukhari, no.5246). pengubahan kelamin pada orang yang memang mempunyai kelamin ganda di perbolehkan karena dalam keadaan darurat atau tidak sempurnanya ketika terlahir ke dunia. Hukum haram bisa saja berubah menjadi mubah apabila dalam keadaan darurat, yaitu apabila mengenai hidup seseorang.
E.            Kesimpulan
Berdasarkan dari pembahasan yang telah kami kemukakan di atas dapat di simpulkan bahwa di dalam Islam tidak ada larangan dalam operasi penggantian kelamin, tetapi dengan catatan karena memang ada suatu hal yang mengharuskannya untuk melakukan operasi kelamin seperti orang yang mempunyai kelamin ganda atau terjadi suatu hal yang berhubungan dengan pengobatan fisik, Operasi penggantian jenis kelamin dapat dilakukan dengan catatan untuk memberikan penegasan status kepada subjek yang bersangkutan dalam hal terjadi jenis kelamin ganda. Namun jika hanya untuk menuruti kemauan dan hasrat seseorang, maka sebaiknya tidak dilakukan karena pada dasarnya dengan melakukan hal itu berarti  yang bersangkutan telah menyalahi kodrat yang dianugerahkan Allah SWT kepadanya.
Masalah seseorang yang ingin mengubah jenis kelaminnya sedangkan ia lahir dalam kondisi normal dan sempurna organ kelaminnya dan bagi perempuan yang dilengkapi dengan rahim dan ovarium, maka pada umumnya tidak dibolehkan atau banyak ditentang dan bahkan diharamkan oleh syariat Islam untuk melakukan operasi kelamin. kasus ini sebenarnya berakar dari kondisi kesehatan mental yang penanganannya bukan dengan merubah ciptaan Tuhan melainkan melalui pendekatan spiritual dan kejiwaan (spiritual and psychological therapy).


[1]http://asrinalaily.wordpress.com/2010/06/16/kedudukan-pergantian-jenis-kelamin-dalam-hukum-islam/

[2] H. Huzaimah Tohido Yanggo, Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer, Bandung: Angkasa, 2006, Hal. 201.
[3] http://mignus.lifeme.net/t370-hukum-operasi-ganti-kelamin-dalam-islam. daiakses pada tanggal 12 September 2012.